Pertama sebelum menanam padi, pemuda tersebut belajar untuk membajak dan menyuburkan tanah dengan alat yang disebut luku. Selanjutnya untuk meratakan tanah sebelum ditanami padi, menggunakan alat  berupa garu. Setelah tanahnya gembur, pemuda tersebut diajari untuk melakukan pengairan, menanam benih padi dan memanennya ketika padi telah mengguning.Â
Bahkan Dewi Sri juga mengajari pemuda tersebut menggunakan ani-ani untuk memotong dan memanen padi. Selain itu Dewi Sri juga mengajari pemuda tersebut menggunakan lesung untuk menumbuk padi sehingga menjadi beras. Setelah mempelajari semua tahapan bertani padi, pemuda tersebut juga diijinkan untuk menikmati nasi sebagai makanan yang lezat dari khayangan.
Setelah tinggal beberapa waktu di khayangan, pemuda tersebut ingin kembali ke bumi dan lalu dia meminta ijin ke Dewi Sri untuk meninggalkan khayangan. Tanpa sepengetahuan Dewi Sri, di pagi hari pemuda tersebut meninggalkan khayangan dan mengambil benih padi untuk dibawa ke bumi. Sesampainya di bumi, pemuda tersebut membagikan benih padi dan mengajari tetangga-tetangganya untuk menanam padi sehingga suatu hari di Pulau Jawa terlihat mengguning ketika padi siap dipanen.Â
Ketika Dewa dari khayangan turun ke bumi, kaget melihat tanaman yang hanya terdapat di khayangan telah ditanam di bumi, seketika itu Dewa tersebut langsung menemui dan memberitahu Dewi Sri. Dewa tersebut geram dengan Dewi Sri yang dianggap telah memberikan benih padi kepada pemuda dari bumi. Â
Mengetahui hal tersebut, Dewi Sri langsung turun ke bumi dan menemui pemuda yang telah mencuri benih padinya. Ketika awal bertemu dengan pemuda tersebut, Dewi Sri marah karena telah mengkhianati kepercayaannya. Tetapi pemuda tersebut memohon ampun kepada Dewi Sri dan meminta maaf atas segala perbuatan yang telah dilakukannya.Â
Kepada Dewi Sri, pemuda tersebut mengakui kesalahannya dan siap menerima hukuman. Pemuda tersebut mengatakan kepada Dewi Sri alasan mencuri benih padi dilakukannya agar penduduk bumi dapat lebih sehat dan kuat dengan memakan beras. Hal ini dilakukan bukan hanya untuk dirinya tetapi demi orang banyak. Dewi Sri, yang welas asih mengampuni pemuda tersebut dan mengijinkan padi untuk ditanam dan dimakan oleh penduduk di bumi tetapi Dewi Sri mengajukan beberapa persyaratan yang harus disanggupi oleh pemuda tersebut.
Penduduk bumi diijinkan untuk menanam padi dan menikmati beras dengan persyaratan ketika menanam padi harus melakukan irigasi secara regular, menyiangi tanaman liar di sekitar sawah, menjaga kesuburan tanah, memanen padi dengan hati-hati menggunakan ani-ani, tidak diperbolehkan membuang beras dan nasi, membiarkan burung untuk ikut menikmati bijih padi sebagai bentuk berbagi dengan mahkluk hidup yang lain dan tidak diperbolehkan untuk membunuh burung-burung yang ikut makan biji padi.Â
Pesan yang sangat kuat disampaikan Dewi Sri kepada pemuda tersebut adalah memperlakukan padi selayaknya seperti anak kandungnya sendiri dan mengikuti ritme alam. Apabila penduduk bumi mengingkari janjinya maka Dewi Sri akan mengirimkan musibah karena telah merusak alam.
Narasi dari dongeng tersebut, bagi saya bukan sekedar dongeng belaka tetapi menyiratkan pesan yang cukup kuat bahwa dalam kosmologi Jawa, masyarakat agraris Jawa sangat menghormati padi dan Dewi Sri sebagai representasi alam.
Pesan kuat dengan menjaga harmoni alam, menanam padi dengan penuh kasih sesuai ritme alam adalah bagian dari memayu hayuning bawono, menjaga alam semesta. Membaca dongeng ini dari perspektif agama lokal, bagaimana masyarakat agraris Jawa memaknai kepercayaan mengenai Dewi Sri dan padi sebagai hubungan interpersonal bukan hubungan antara subyek dan obyek.Â
Mengacu dari Hallowell (1960), Bird-David (1999), Morisson (2002) dan Maarif (2015), Â terdapat ikatan dan hubungan antara mayarakat agraris Jawa dengan padi dan Dewi Sri sebagai relasi intersubyek dan we-ness. Dewi Sri dalam kosmologi Jawa sebagai personhood, nonhuman being yang mengindikasikan terdapat hubungan saling ketergantungan.Â