Seharusnya ini menjadi pertemuan penuh tangis. Tapi tidak. Indra selalu bisa membuatku tertawa.
Dia laki-laki normal yang hanya menganggapku sebagai tumbuhan paku di batang pohon. Kami menghabiskan waktu untuk melakukan banyak hal bersama. Menonton pertandingan bola di rumah tetangga, berbagi cerita pengalaman pertamanya jatuh cinta, dan duduk di kedai kopi pinggiran Kota Tanjungpandan ketika pasangan muda saling menggenggam tangan, memeluk sepanjang jalan hingga memenuhi setiap jalur lalu lintas kota ketika Sabtu malam tiba.
"Bagaimana dengan Mang Ojan penjaja cilok langganan? Atau Mang Iman penjual ayam geprek kesayangan. Mang Odeng penjual gorengan, Bang Amat penjual mie ayam. Kau tidak memikirkan perasaan mereka?" Dia berkata sambil menunjuk hidungku.
"Tidak ada lagi alasan aku untuk tinggal di sini. Kau tahu 'kan? Mak dan Bapakku sudah lama balik?" Aku menyahut dengan memandang ke arah orang-orang yang duduk di kursi tinggi dekat meja barista.
"Kau tentu tidak memikirkan perasaan aku juga. Bagaimana dengan aku terlanjur mencintaimu yang datang beri harapan lalu pergi dan menghilang," katanya sambil bersenandung.
Ah, sialan kau! Tawaku pecah seketika, membuat beberapa pasang mata menatap ke arah kami.
"Dah lah. Kau setuju atau tidak, aku tetap akan pindah."
"Tega kau, Nad!" Kali ini dia mengarahkan pandangan ke arah lain. Membuatku tak tega. Aku beranjak dari kursi, melangkag ke arahnya dan mengalungkan tangan di tengkuknya.
"Drama banget deh kita!" Dia seketika menarik kedua tanganku. Aku harap, di antara beberapa pasang mata yang memandang ke arah kami tak beranggapan kami sedang melakonkan adegan sepasang kekasih dalam novel romantis.
***
"Nih, daripada asem mulutmu." Tangannya memaksaku membuka mulut. Dia meletakkan permen rasa kopi di ujung lidahku. Manis.
"Semoga nanti pacarmu nggak marah sama aku," kataku.
Dia mendaratkan jari telunjuknya ke dahiku. Membuat kepalaku miring ke kanan sehingga aku harus mendorongnya kembali ke sisi kiri. Kata nenek supaya otakku tak bergeser hahaha.
"Nggak usah banyak drama. Kau tahu sendiri pacarku kabur gara-gara ngelihat aku harus transfusi darah karena jatuh pas olahraga," katanya.
"Sayang banget aku nggak bisa bawa kamu masuk koper, Ndra." Aku mencoba menghiburnya.
"Maksudnya kau mau mutilasi aku, hah? Sadis kali otak kau itu ya!"
Kini aku harus mencubit lengannya hingga dia mengaduh. "Otakmu itu yang geser! Sembarangan kalau ngomong! Sebasing becakap!"
"Jadi, kita ngapain malam ini? Kita harus buat kenangan yang tak terlupakan, Nad."
Otakku seketika berpikir. Pikiran-pikiran tentang ide yang harus direalisasikan dalam bentuk nyata bersama dengan laki-laki normal yang tak menganggapku perempuan. Ketika aku akan mengatakan ide di otak dalam satu kalimat, dia lebih dulu berbicara.
"Gimana kalau kita check-in hotel, Nad?" kalimatnya memecah keheningan.
Aku hampir mengumpat jika saja tangannya tak berada di depan bibirku. Ketika bibirnya berada di atas jari-jarinya yang panjang, meninggalkan jejak harum manis kopi dan selekuk senyum cerah di antara gelap malam.
"Jangan lupakan aku, Nad. Kalau kau kembali ke sini suatu saat nanti, temui aku. Aku janji, nggak akan pernah mengganti nomor hape. Aku janji," katanya setelah membiarkan aku mengisi kekosongan paru-paru dengan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.
"Bulan depan kau pasti lupa dengan ucapanmu malam ini. Aku bisa bertaruh," kataku.
Dia tak menyahut. Hanya memandang ke atas dengan pikiran yang tak bisa kutebak.
"Kau akan tahu nanti, ketika kembali ke sini."
Kalimat itu menjadi penutup percakapan kami malam itu. Kalimat terakhir yang aku dengar dari bibirnya. Kini, tidak ada lagi seorang Indra, hanya aku dengan anak-anak mimpi yang masih terjaga.
#MY, 130623
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H