"Semoga nanti pacarmu nggak marah sama aku," kataku.
Dia mendaratkan jari telunjuknya ke dahiku. Membuat kepalaku miring ke kanan sehingga aku harus mendorongnya kembali ke sisi kiri. Kata nenek supaya otakku tak bergeser hahaha.
"Nggak usah banyak drama. Kau tahu sendiri pacarku kabur gara-gara ngelihat aku harus transfusi darah karena jatuh pas olahraga," katanya.
"Sayang banget aku nggak bisa bawa kamu masuk koper, Ndra." Aku mencoba menghiburnya.
"Maksudnya kau mau mutilasi aku, hah? Sadis kali otak kau itu ya!"
Kini aku harus mencubit lengannya hingga dia mengaduh. "Otakmu itu yang geser! Sembarangan kalau ngomong! Sebasing becakap!"
"Jadi, kita ngapain malam ini? Kita harus buat kenangan yang tak terlupakan, Nad."
Otakku seketika berpikir. Pikiran-pikiran tentang ide yang harus direalisasikan dalam bentuk nyata bersama dengan laki-laki normal yang tak menganggapku perempuan. Ketika aku akan mengatakan ide di otak dalam satu kalimat, dia lebih dulu berbicara.
"Gimana kalau kita check-in hotel, Nad?" kalimatnya memecah keheningan.
Aku hampir mengumpat jika saja tangannya tak berada di depan bibirku. Ketika bibirnya berada di atas jari-jarinya yang panjang, meninggalkan jejak harum manis kopi dan selekuk senyum cerah di antara gelap malam.
"Jangan lupakan aku, Nad. Kalau kau kembali ke sini suatu saat nanti, temui aku. Aku janji, nggak akan pernah mengganti nomor hape. Aku janji," katanya setelah membiarkan aku mengisi kekosongan paru-paru dengan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.