Mohon tunggu...
Mita Yulia H (Mita Yoo)
Mita Yulia H (Mita Yoo) Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Lepas

Penulis fiksi, karya yang telah terbit antara lain KSB, R[a]indu, dan Semerah Cat Tumpah di Kanvasmu Bergabung dalam beberapa komunitas menulis dengan dua puluhan buku antologi cerpen dan puisi Lihat karya lainnya di Wattpad: @mita_yoo Dreame/Opinia/KBM/YouTube: Mita Yoo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kumbang Singgah di Bibir Mawar

18 Mei 2023   05:35 Diperbarui: 18 Mei 2023   05:37 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal sama yang aku lakukan selama sepuluh tahun terakhir adalah lingkar rutinitas bangun pagi, memasak, mengantar anak ke sekolah, kemudian menghabiskan berjam-jam di depan tumpukan baju kotor, bekas makan tempat lalat bergosip hingga deretan resep menu yang harus dihafal hingga bisa menyatukan beberapa bahan makanan dan bumbu dalam satu piring.

Menjemukan. Aku mulai bosan. Apakah ada cara untuk membunuh bosan?

Dering ponsel membuatku mengayun langkah menuju kamar, meraih ponsel layar datar berwarna putih di atas meja rias.

"Halo, Gi. Apa kabar?" kataku segera setelah menekan simbol telepon berwarna hijau di layar.

"Na, sorry banget kalau gue ganggu. Lu harus tau. Ini penting. Penting banget. Mas Adit, Na!" Aku bisa merasakan kepanikan dari suara di seberang telepon.

"Kenapa, Gi? Ngomong yang jelas, please!"

"Nggak bisa ditelepon, Na. Gue WA. Oke? Gue kirim WA."

"Oke, oke."

Sesaat setelah sambungan telepon terputus, sebuah pesan di Whatsapp dari teman lamaku itu masuk. Beberapa foto yang diambilnya secara candid membuat rasa penasaranku meninggi. Jariku segera menyentuh foto untuk bisa mengunduhnya.

Pupil mataku membesar ketika foto itu terlihat. Aku lagi pura-pura selfie, Na. Keterangan yang tertulis di foto tersebut.

Tak butuh waktu lama, aku segera meraih handuk dan berlari ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Air hangat membuat saraf tubuhku lebih relaks. Aku perlu hati yang tenang untuk menghadapi situasi ini.

***

[14/05 14:50] Kirana: Mas, lagi di mana? Bisa jemput si sulung? Aku lupa ada jadwal ketemu dokter hari ini. Titip si sulung ya Mas, maaf aku buru-buru.

Segera setelah tanda centang dua biru terlihat di aplikasi WhatsApp, kuayun langkah menuju Cafe tempatku bertemu dengan teman lama. Dari jarak sepuluh meter, aku bisa melihat lelaki berbaju batik itu ke luar dari Cafe dan buru-buru menekan gas laju mobilnya.

Temanku buru-buru menyambut ketika aku datang dengan membawa tas jinjing yang berada di piramida sosial tertinggi hadiah dari Papa. Tak lupa kacamata hitam lengkap dengan scarf yang kujadikan kerudung untuk menutup dada.

"Gue masih gemeteran, Na. Mereka nggak tau gue di sini. Kayaknya Mas Adit nggak ngenalin gue," temanku berkata dengan nyaris berbisik.

"Santai. Kamu nggak salah." Aku mengeluarkan cermin dari dalam tas. Memastikan penampilanku sempurna. Setelah sekian tahun, aku kembali memoles wajah dengan riasan lengkap dengan polesan merah terang di bibir.

"Udah, Lu udah cantik," kata perempuan di depanku.

Aku menyeringai. Perlahan kuayun langkah tegap menuju meja nomor 13 tempat perempuan muda duduk. Celana jeans highwaist menjadi pelengkap baju berbahan rajut model kerah tinggi yang sempurna menampilkan lekuk tubuhnya.

"Permisi, Kak. Boleh saya duduk di sini?" kataku sebelum mendaratkan tubuh di kursi busa.

Perempuan itu mengangguk. Aku duduk tepat di depannya. Tas jinjing seharga mobil itu kuletakkan tak jauh dari jangkauan.

Perempuan itu masih sibuk menatap ponselnya.

"Kak, boleh nanya nggak?" Dia segera mengalihkan pandangan dari ponselnya. Menatapku.

"Ya? Ibu siapa, ya?"

Aku menyeringai. Tak kusangka aku memerankan karakter utama di sini. Ini terlalu mudah dan bisa ditebak.

Tanganku meraih selembar foto dari dalam tas lalu menyodorkan ke arahnya.

"Kakak pasti kenal laki-laki di foto itu," kataku.

Dia melihat foto itu sekilas sebelum tersenyum. Tangannya meletakkan ponsel di meja.

"Oh, jadi Ibu istrinya Mas Adit?" katanya dengan nada yang tak nyaman didengar.

Aku menganggukkan kepala. "Betul," kataku.

"Bagus deh, aku jadi nggak perlu capek-capek sembunyi lagi. Mas Adit itu cinta sama aku, Bu. Dia janji bakalan cerai dari Ibu terus nikahin aku." Dia mengatakannya tanpa ragu, seperti pemain andal. Sayang sekali laki-laki itu --suamiku-- mendapatkan perempuan semacam dia.

"Jadi, kalian sudah sejauh mana?" Aku sengaja memotong kalimat perempuan itu.

"Ibu mau tau aja atau mau tau banget?"

Aku menyeringai sekali lagi. Cara bicara perempuan di depanku membuat lahar panas di dadaku siap menyembur.

"Ya, terserah kamu saja. Saya nggak peduli kamu masih suci atau tidak. Itu urusan kamu."

"Ibu jangan sembarangan ngomong ya, Bu! Mas Adit itu cinta sama aku!" katanya dengan keras, membuat beberapa pasang mata memandang ke arah kami.

"Cinta katamu? Pada akhirnya kamu akan dibuang setelah manismu hilang," kataku sebelum meninggalkan kotak berwarna merah muda dengan pita di atasnya. Tak lupa aku menuliskan pesan romantis di atas kotak.

Selamat ya Sayang, aku hamil lagi.

#MY, 160523

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun