Langit mulai membias warna jingga. Pandangan gadis itu mengarah ke bawah kakinya. Sepasang sandal jepit yang sebelah sisinya dipasang peniti menjadi pelengkap daster rayon motif bunga-bunga yang melekat di tubuhnya.
Langkahnya terayun menyusuri jalan tanah merah yang retak karena hujan lama tak bertandang. Gadis itu memegangi kepalanya, tubuhnya terhuyung ketika meraih gagang pintu. Pelan, dia bersandar di sisi pintu, mengais kantung daster dan mengeluarkan kunci dari sana.
Tangannya mendorong pintu dengan sisa tenaga. Tubuh lelahnya segera rebah di atas dipan beralaskan tikar dari eceng gondok yang dianyam oleh kelompok wanita tani di desanya.
"Hari yang berat," katanya.
Dia duduk sejenak sebelum melangkahkan kaki menuju meja kayu di sudut ruangan. Meraih teko berisi air di sana, mengalirkannya dalam gelas belimbing hingga hampir terisi penuh. Air dalam gelas berpindah ke tenggorokannya dalam sekejap. Sedikit membasahi kulit bibirnya yang hampir mengelupas.
"Tapi ini bukan apa-apa. Bukan masalah yang bisa ditangisi berkali-kali. Mudah-mudahan aku nggak pindah kerja di tempat lain lagi." Dia meraih buku tulis di atas lemari dan mencoret deretan angka yang tertulis di sana.
Ini adalah bulan kedua dia berdiam di tempat dengan dinding saling menempel dengan pemilik lain. Gadis itu menyebutnya rumah, meski dindingnya penuh coretan, atapnya mampu menjadi pancuran air ketika hujan deras. Dia tetap memanggilnya rumah, tempat pulang dan menanggalkan segala lelah.
***
Tumpukan kain beraneka warna di depannya membuat gadis itu tersenyum. Di kepalanya terbayang nominal yang akan dia terima nanti sore.
'Semoga cukup untuk beli beras sama minyak,' hatinya berharap.
Tangannya menyalakan mesin jahit di depannya. Kakinya perlahan mulai bergerak di atas pedal. Mesin mulai berputar menyatukan sisi-sisi kain dengan benang berwarna senada warna kain. Sesekali gerakan kakinya berhenti, dengan gerakan tangan dia memutus benang dengan gunting kecil di sisi meja kerjanya.Â