Episode 2: Esensi Niat
Berbekal doa dari Emak, aku berangkat menuju tempat wawancara kerja. Perusahaan Jaya Makmur Sentosa, begitu nama yang ada di depan pintu gerbang setinggi tiga meter itu. Aku melewatinya setelah mengangguk sambil tersenyum ke arah lelaki berseragam cokelat muda dengan tongkat di pinggang.
Ketika aku melewati pintu kaca yang dibuka, seseorang menghampiri. "Mas, mau wawancara, ya?" perempuan dengan blazer merah burgundy dengan rambut tersanggul rapi bertanya.
"Betul, Mbak," kataku.
"Mari lewat sini, Mas." Dia mengisyaratkan agar aku mengikuti langkahnya.
Dia mengantarkan aku menuju sebuah ruangan. Kursi-kursi di sana terisi dengan orang-orang berseragam putih-hitam sepertiku. Beberapa mata memandang ke arahku.
"Terima kasih, Mbak," kataku sesaat setelah perempuan blazer merah marun hendak beranjak.
Langkahku terayun menuju kursi kosong. Satu-satunya tempat duduk yang tersisa.
'Duh, ternyata banyak yang lebih pagi. Jadi ngerasa berdosa, padahal tadi kesiangan sedikit jadi kena macet,'Â batinku.
Ketika satu-persatu orang masuk ke dalam ruangan dan keluar dari sana dengan ekspresi berbeda-beda, aku merasa lidahku kelu. Selain karena bibir kering menahan haus, aku memikirkan bagaimana jika aku gagal lagi kali ini.
'Jangan sampai bikin Emak kecewa, udah cukup.' Pikiranku mulai memikirkan hal-hal buruk.
"Saudara Julianto," suara perempuan di ambang pintu membuyarkan pikiran burukku.
Aku melangkah masuk, duduk berhadapan dengan perempuan berkacamata yang memegang map merah. Sebagian besar pengalaman pendidikan dan kemampuanku.
"Dari yang saya baca, kamu belum pernah bekerja, betul?" Pertanyaan yang sangat tak basa-basi.
"Benar, Bu. Selama kurang lebih enam bulan ini saya mencari peluang ke berbagai perusahaan, tetapi kemampuan saya dinilai tidak cocok dengan perusahaan mereka. Jadi, saya akhirnya mencoba melamar ke perusahaan ini untuk posisi tersebut," kataku.
"Bagaimana kalau saya menerima kamu bekerja, tanpa melihat latar belakang pendidikan kamu?"
"Maksudnya, Bu?" Aku mengubah posisi tubuh dengan lebih condong ke arah perempuan di depanku.
"Saya akan menerima kamu sebagai office boy, kamu bersedia?"
'Gile! Sarjana jadi office boy?' sebagian diriku marah, tetapi hatiku buru-buru mengiyakan.
"Baik, Bu. Saya bersedia," kataku.
"Kamu bisa bekerja mulai besok," katanya.
Aku tersenyum, mengucapkan terima kasih sambil menangkupkan kedua tangan ke arahnya.
"Terima kasih, Bu. Permisi." Aku berbalik, melangkah ke luar ruangan.
Pundak terasa lebih ringan. Ada beban yang terlepas. Namun, aku tidak tahu akan mengatakan apa pada Emak. Apakah kali ini Emak akan kecewa atau bahagia? Ah, sudahlah. Aku berniat memiliki pekerjaan karena ingin mandiri, membantu Emak di masa senjanya. Semoga Allah meridhai niatku.
'Bismillah, Ya Allah. Semoga Emak nggak marah. Aamiin.'
#MY, 1 Ramadhan 1444 H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H