Lelaki berwajah oriental itu menatapku. Kedua telapak tangannya menyatu, berjarak lima sentimeter di depan dagu. Dia membuat senyum dengan bibir pucatnya, membuat pupil matanya seolah tertutup.
"Kumohon, kali ini saja. Berikan aku obatnya, apa pun itu."
Aku mendesah. Tanganku terlipat di dada sedangkan otakku mulai berpikir.
"Ada resikonya, tentu saja."
"Apapun itu, aku siap. Aku merindukannya. Please," katanya lagi.
"Aku akan memberikan dosisnya sesuai kebutuhanmu. Hanya selama dua hari. Ingat, dua hari saja, tidak lebih. Lebih cepat kamu kembali, lebih baik," aku menasihati lelaki itu. Kali ini, benar-benar terserah padanya.
"Dengan atau tanpa obat itu, aku akan mati. Kalau itu resiko yang kamu maksud," dia berhenti sejenak sebelum meneruskan, "aku hanya berusaha untuk meninggalkan memori indah padanya."
"Baiklah, terserah kamu saja. Aku hanya tidak ingin hal buruk terjadi padamu," sahutku.
"Terima kasih, Mey. Aku yakin kamu akan menjadi dokter terbaik," katanya, masih dengan senyum di bibir pucat itu.
"Simpan saja doa itu untukmu sendiri," kataku dengan suara serak, lalu meninggalkan ruangan itu sebelum mataku semakin perih.
***
Aku mengalihkan pandangan ke arah pintu ketika suaramu terdengar. Seseorang yang telah lama aku rindukan.
"Anand," tanpa aba-aba, aku mengucapkan namamu.
Kamu tersenyum, membuat matamu serupa bulan di tanggal ketujuh.
Kamu bertanya apakah aku bisa menutup toko lebih awal. Aku tertawa, lalu buru-buru memutar tanda buka di pintu menjadi tutup.
"Kamu mau tiramisu?" kataku membuka percakapan.
"Aku senang kamu masih ingat. Tapi, sekarang aku lebih menyukai banana smoothies," katamu.
"Aku akan membuatnya," aku kembali mengenakan celemek dan mulai menyiapkan gelas jus untukmu. Kaki jenjangmu melangkah ke arahku, berdiri di sisi kanan.
"Biarkan aku melihatmu begini. Sekali ini saja, seperti ini. Aku kangen," katamu tanpa basa-basi.
"Itu sebabnya kamu kembali?" Aku penasaran apa yang membuatmu pergi kala itu.
"Aku hanya pergi sebentar. Tidak pernah benar-benar meninggalkanmu."
"Aku benar-benar penasaran. Apa yang membuatmu kembali?"
"Aku kangen, hanya itu." Kamu mengangkat otot di sekitar bibir dan matamu ketika mengatakan kalimat itu.
"Jadi?" Aku penasaran.
"Aku ingin nonton bioskop sebelum mengantarmu pulang," katamu.
Aku menuang banana smoothies ke dalam gelas, lalu menuntun langkahmu menuju meja bundar. Kita duduk di bangku bulat, berhadapan.
"Aku ke sini demi kamu. Ini terlalu beresiko, tentu saja. Tapi, aku cuma mau ketemu kamu," kamu mengulangi kalimat itu sambil mengaduk banana smoothies dengan sedotan plastik.
"Kita sudah ketemu, Anand," aku memotong kalimatmu cepat. Kamu menatapmu, menarikku dalam pelukan dan meninggalkan jejak bibirmu di kening.
"Oh, God. I miss you so bad," kalimat itu membuat air mataku luruh.
***
"Kami menonton London has Fallen bersama. Setelah itu dia mengantarku pulang. Dia terus menggenggam tanganku selama perjalanan dengan bus. Astaga, aku kehabisan kata-kata," suaraku parau. Berkali-kali aku menyusut air di sudut mata dengan tisu.
"Dia adalah pasien lemah jantung yang punya keinginan kuat. Dia kembali ke sini enam bulan lalu. Kondisinya semakin memburuk tapi dia berusaha untuk membuat kamu bahagia. Dia sangat keras kepala. Dia bahkan menyiapkan rencana pertemuan kalian saat sekarat. Dia ..." Perempuan di sampingku tak meneruskan kalimatnya.
Hening beberapa detik.
"Terima kasih, Mey. Kamu dokter yang baik. Aku bahagia sekarang. Dia pergi bertemu kekasihnya yang abadi. Tempat pulang sebenarnya."
#MY, 080323
Sumber ilustrasi: https://id.pinterest.com/pin/48413764737592566/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H