Bel tanda berakhirnya kelas hari itu berbunyi. Farah --mahasiswi yang sedang praktik mengajar di sekolah itu-- segera mengemasi buku-buku teks setebal 659 halaman beserta buku daftar kehadiran dan buku jurnal harian  sebelum meninggalkan ruangan.
Dia mengetuk pintu sebelum mengucapkan salam dan melewati pintu itu. Beberapa pasang mata menatapnya. Dia memberi senyum dengan anggukan kecil ke arah mereka yang menatapnya. Dia beberapa kali menjatuhkan barang miliknya.Â
Bolpoin, kotak pensil bahkan buku catatan miliknya. Keringat mulai membasahi kerudung cokelat --lebih muda dari kental manis cokelat yang biasa diminumnya di pagi hari-- yang dipakainya.Â
Tangannya sedikit bergetar. Dia segera mengemasi barang miliknya sebelum melangkah tergesa-gesa hingga bunyi ujung sepatunya membuat beberapa pasang mata kembali mengikuti langkahnya.
Farah berhasil melewati gerbang dan jalan di antara padi yang mulai menguning itu. Di depannya, lalu-lalang kendaraan dan beberapa anak berseragam putih-biru sedang berbincang, beberapa di antaranya menyebut namanya dengan sapaan ibu di depan namanya. Dia hanya tersenyum.
Bunyi knalpot memekakkan telinga membuat mereka gaduh. Beberapa anak bersorak ke arahnya, Farah tak sempat mengarahkan pandangannya apalagi menyadari ketika seember potongan es yang sebagiannya telah kembali cair mendarat di atas kepalanya.Â
Dia menatap wajah itu tersenyum puas, sebelum kembali menggeber motor dengan knalpot racing memekakkan telinga.
Farah memijat pelipisnya. Beberapa anak memberinya tisu dan menanyakan keadaannya. Satu di antaranya menghentikan motor matic berwarna merah di depannya.
"Bu, mari saya antar ke Puskesmas di depan sana. Saya khawatir Ibu kenapa-napa," katanya.
Farah mengangguk dan melangkahkan kakinya ke jok belakang motor itu. Syukurlah masih ada anak baik, batinnya.
***