"Ya mau lah!" Dian spontan menyahut, sebelum buru-buru meralat ucapannya. "Maksudnya ka-kalau memang ada yang serius ngapain ditolak. Iya 'kan, Ibu Guru cantik?" Dian melempar senyum ke arah Aysa. Ada getaran aneh ketika nama Gio disebut. Namun, dia tak pernah berharap banyak. Dian juga menyadari jika perbedaannya dengan Gio terlalu mencolok.
"Iya. Kalau kamu memang suka, suruh dia lamar kamu secepatnya. Kalau dia serius, dia pasti datang ke orangtuamu," Aysa mencoba menjelaskan pada Dian.
"Nggak tahu, deh. Dian juga masih takut. Takut abi nggak setuju, Dian takut abi marah kalau ada laki-laki ke rumah," keluh gadis itu.
"Nanti Ammi bakal bantu. Kamu bicarakan dulu aja sama Gio," Zidan mencoba memberi semangat pada keponakannya itu.
"Iya, Ammi. Nanti Dian coba. Tapi masalahnya Dian tuh jadi pendiam kalau sama Mas Gio. Kadang-kadang malah nggak bisa dikontrol, malu-maluin lah!" Gadis itu menutup wajahnya seketika.
"Nggak apa-apa, ngomong aja pelan-pelan. Ammi waktu deketin perempuan yang sekarang jadi istri juga begitu kok, gugup," aku Zidan sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Aysa. Perempuan itu hanya tersenyum.
"Gitu, ya? Tapi kalau nanti abi nggak setuju gimana?" Dian kembali termenung.
"Nanti Ammi bantuin, Ammi tahu kelemahan abimu. Tenang aja, kalau dia jodoh kamu, nggak akan kemana."
"Makasih ya, Ammi ..." Dian seketika menarik bibirnya ke atas. Hatinya berharap, akan ada jalan baginya untuk bisa bersama laki-laki itu.
***
Bersambung