Mohon tunggu...
Sari Meutia
Sari Meutia Mohon Tunggu... Penulis - CEO

Ibu rumah tangga yang juga penulis dan pekerja profesional. Senang masak, musik, dan--pasti, jalan-jalan. Bercita-cita memiliki toko kue yang asyik bila pensiun nanti.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Cambridge: Kampung Para Peraih Nobel

27 April 2016   15:09 Diperbarui: 27 April 2016   15:13 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Kamu harus ke Cambridge. Kota ini lebih cantik daripada Oxford”. Komen ini tertera di barisan komen yang membaca note FB saya tentang perjalanan ke Oxford tahun lalu, 2015 (https://www.facebook.com/notes/sari-meutia/oxford-menyambangi-kota-menara-menara-mimpi/10152872872361769). Komen-komen yang ada membuat saya mencari informasi membandingkan kedua kota yang terkenal dengan universitasnya ini.

Kesempatan mengunjungi Cambridge datang pada 15 April 2016, seusai bertugas selama tiga hari di London Book Fair 2016. Dengan membeli tiket kereta api dari stasiun Liverpool Street di London seharga £ 21.30 untuk perjalanan pp, saya berangkat ke Cambridge ditemani sahabat saya Laura Prinsloo, Ketua Komite Buku Nasional yang sama-sama bertugas untuk London Book Fair 2016. Kami memilih perjalanan pagi karena sore harinya kami harus ke bandara Heathrow London untuk terbang kembali ke Indonesia. Jadi ini benar-benar mengambil sisa waktu yang sangat terbatas untuk dapat mengunjungi Cambridge.

Sebagai lulusan Astronomi, membaca tentang University of Cambridge (UC), seperti bernostalgia dengan masa-masa perkuliahan dahulu. Bagi mahasiswa yang setiap harinya berkutat dengan rumus-rumus fisika, matematika, serta astronomi, saya akrab dengan Newton, Hawking, Eddington, Dirac, Rutherford, Bohr, Maxwell, dan banyak lagi ilmulwan terkenal yang pernah bersekolah di UC. Perjalanan 45 menit dalam kereta menjadi sangat menyenangkan sekalipun hujan turun terus menerus, menyajikan pemandangan basah countryside London.

Setibanya di Cambrigde, berbekal peta yang tersedia di stasiun kereta, kami mencoba mempelajari apa yang bisa dinikmati dalam waktu singkat di kota yang terkenal dengan wisata berperahu (punting tour)-nya, wisata yang memamerkan kampus-kampus klasiknya dan pemandangan indah yang mengelilinginya.

Bantuan dari seorang petugas stasiun yang ramah membuat kami bisa mendapatkan tiket bis murah (dengan harga £3) untuk berkeliling Cambridge, syaratnya menunjukkan tiket kereta api dari London di counter tiket bis. Sebenarnya, seperti di Oxford, ada bis wisata hop on off dengan harga £12. Berbeda dengan bis hop on off yang sudah menentukan titik-titik berhenti yang menarik untuk para wisatawan, naik bis murah ini, kami sendiri yang harus menentukan titik berhenti yang tepat untuk mengunjungi spot UC yang menarik.

Karena hujan masih turun, kami habiskan waktu di dalam bis sampai bis mencapai penghentian terujung sekaligus menikmati suasana asli Cambridge. Saya langsung merasakan perbedaan Cambridge dan Oxford dari pemandangan yang disaksikan dari dalam bis. Kalau di Oxford ditemukan lebih banyak bagunan kampus klasik, deretan pertokoan dan perumahan yang modern, di Cambridge kita temukan lebih sedikit bangunan klasik, perumahan yang lebih sederhana, dan banyak pepohonan serta ruang hijau yang luas. Memang dari apa yang saya baca di internet, Oxford dianggap lebih meng-“kota” sementara Cambridge lebih terasa “kampung”.

Dari hentian terakhir ini, bis memutar balik, kembali ke pusat kota. Walaupun hujan masih rintik-rintik, kami turun untuk menikmati suasana kampus sekaligus pusat kota Cambridge. Tidak seperti kunjungan di Oxford tahun lalu saat langit yang cerah memberikan pandangan kota yang bersih dan cantik, Cambridge yang hujan dan basah membuat suasana kota sedikit gelap —situasi yang tidak menguntungkan untuk memotret. Walaupun demikian, turis tetap ramai. Agen-agen wisata dengan sabar terus merayu kami dengan menunjukkan brosur untuk menikmati wisata perahu. Hujan dan waktu yang terbatas menghalangi niat untuk menikmati wisata perahu ini.

Didirikan pada 1209, UC adalah universitas berbahasa Inggris tertua kedua di dunia dan universitas keempat tertua yang masih berdiri hingga kini. Cambridge dikembangkan oleh para ilmuwan yang meninggalkan Oxford setelah terjadi perselisihan dengan penduduk setempat, Persamaan karakter keduanya membuat kedua universitas ini sering dirujuk dengan gelaran “oxbridge”.

UC secara konsisten menduduki peringkat pertama universitas terbaik dunia. Dari Wikipedia, kita dapati taburan nama-nama alumninya yang sangat tersohor. Matematikawan, saintis, politikus, ahli hukum, filosof, penulis, aktor, dan kepala negara. Memangun reputasi dengan melahirkan 92 Nobel Laureates dan 10 Field Medalist, pasti membutuhkan usaha yang luar biasa  (https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_Nobel_laureates_by_university_affiliation). Mantan lulusan yang pernah bersekolah S1 di UC saja memenangkan total 61 hadiah Nobel, 13 lebih banyak dari lulusan sarjana dari universitas lain.

Tidak cuma ilmuwan terkenal yang kerap disebut di diktat fisika dan matematika atau astronomi, Charles Darwin sang pelopor asal usul manusia, adalah lulusan UC. Termasuk David Attenborough, pembawa acara favorit saya di BBC Natural History. Dolly, domba selebritis karena menjadi domba yang dikloning pertama kali pada 1996 merupakan hasil riset Sir Ian Wilmut yang adalah lulusan Darwin College, UC. Dalam bidang teknologi komputer, UC juga berjaya. Webcam pertama kali ditemukan di UC, awalnya sebagai media monitor bagi periset yang enggan meninggalkan riset mereka untuk pergi ke ruang makan dan  kecewa karena persediaan kopi habis. Alan Turing yang kisahnya difilmkan dalam Imitation Game adalah lulusan kampus ini. Bahkan dokter menyebalkan yang berperan di Film House, aktor Hugh Laurie, rupanya juga lulusan UC.

Seperti halnya Oxford, UC juga banyak meluluskan Perdana Menteri Inggris. Ada 15 PM termasuk perdana menteri pertama Inggris, merupakan lulusan UC. Selain tempat belajar kepala-kepala negara, di sini jugalah Charles, Prince of Wales—ayah Pangeran William dan Harry, pernah bersokolah.

Cambridge University Press, penerbit di bawah UC, merupakan penerbit tertua di dunia, dan merupakan penerbit universitas kedua terbesar di dunia. Perpustakaan di kota ini memiliki sekitar 15 juta buku, 8 juta di 114 perpustakaan Cambridge University Library yang adalah perpustakaan riset yang mendapat hibah 1 kopi buku yang diterbitkan di seluruh UK dan Irlandia. Di UC juga kita temukan 8 museum sains dan budaya, serta kebun botani yang luas dan sangat menyegarkan mata.

Sementara sulit untuk menentukan kekuatan Oxford di bidang apa—karena hampir semua bidang Oxford mendapat peringkat, Cambridge secara khusus mempertahankan kekuatannya di matematika, walaupun tetap ada beragam riset dan perkuliahan bidang lain di UC. Tradisi panjang ilmu-ilmu sains dasar yang ditanamkan ilmuwan-ilmuwan besar dunia seperti Newton tampaknya telah mendarah daging sehingga terus terjaga hingga saat ini dan melahirkan pelbagai penghargaan di bidang matematika.

Bila Oxford memilik 38 kampus utama, ada 31 universitas di pusat kota Cambridge dengan 3 kampus hanya menerima perempuan. 20% dari jumlah penduduk Cambridge adalah mahasiswa di UC sehingga boleh dikatakan kota ini kota orang muda. Pertumbuhan ekonomi di Cambridge melahirkan istilah Cambridge Phenomenon: penambahan 1.500 perusahaan lama dan baru, dan sekitar 40.000 pekerjaan antara tahun 1960 dan 2010 yang terkait langsung dengan keberadaan dan keutamaan insitut pendidikan ini. Wisatawan pun berdatangan ke kota ini untuk menikmati keindahan kampus maupun memberikan inspirasi bagi para mahasiswa (atau sebaliknya).

Memang kunjungan ke Cambridge kali ini, karena hujan yang tidak bersahabat, membuat saya tidak berhasil memotret kecantikan kota ini, berpose di depan kampus-kampus klasiknya, atau menikmati wisata sungai dengan pemandangan indah bangunan bersejarah ratusan tahun. Namun begitu, Cambridge tetap membekaskan kesan mendalam bagi saya. Memandangi bangunan-bangunan dan menapaki jalan setapaknya dalam rintik hujan, seolah saya sedang masuk ke dalam sejarah bersama para ilmuwan besar pada masa itu dan masa sekarang. Dan setelah berkunjung ke Oxford dan Cambridge, sepertinya sulit bagi saya mengatakan yang mana lebih bagus karena menyaksikan Oxford atau Cambdrige, berarti memandang saksi hidup perkuliahan yang sudah berlangsung lebih dari 800 tahun. Bukankah itu saja sudah luar biasa? []Sari Meutia, 25 April 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun