Semua penampil hadir dengan sesuai kapasitas mereka. Pak Sapardi selain mengulas puisinya, juga membacakan beberapa di antaranya. Bu Sisca tampil dengan gayanya yang kocak dan menghibur dibantu dengan rangkaian slides presentasi tentang kekayaan bumbu Indonesia. Sayang sekali, untuk alasan keamanan, tidak diperkenankan memasak di stan, sehingga yang paling jauh tentang kegiatan memasak yang bisa dilakukan bu Sisca di stan adalah mengulek bumbu-bumbu khas masakan Indonesia.
Pada hari kedua pameran, tim media (cetak, elektronik dan daring ) yang dibawa dari Indonesia sudah memberitakan beragam sudut pandang mereka tentang acara-acara yang digelar di stan Indonesia melalui surat kabar cetak dan televisi yang ada di Indonesia dan pelbagai media daring sehingga rakyat Indonesia langsung mendapatkan informasi terkini tentang kegiatan delegasi Indonesia di pentas Leipzig. Sebuah kontrol yang seharusnya efektif untuk penyelenggaraan program-program semacam di panggung internasional yang melibatkan anggaran pemerintah yang besar.
Seluruh kegiatan di Leipzig diakhiri dengan pementasan musik dan tari yang dipimpin aktor kawakan Slamet Rahardjo dan timnya. Dengan memanfaatkan lahan pentas di stan yang sempit, menggunakan properti sederhana seperti lonceng dan sapu lidi, mas Slamet dan kawan-kawan berhasil mengalirkan kehangatan, keramahan dan kegembiraan—sebuah negeri berpenduduk 200 juta jiwa lebih yang hidup di lebih 13,000 pulau—kepada para penonton asing yang kemudian terlibat ikut menari di pentas yang sempit itu, atau sekadar terpaku di luar stan sambil menyaksikan dengan antusias. Sebuah penutup yang menghibur di pameran sebuah kota yang dikenal sebagai tempat festival reading (sastra) terbesar di Eropa.
Leipzig seharusnya menjadi awal yang menggairahkan dan menyemangati seluruh delegasi untuk bekerja lebih cerdas, lebih giat dan lebih kompak lagi sebagai tim untuk pentas yang lebih besar sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Mengutip Goenawan Mohamad dalam pengantarnya di buku program Indonesia, pentas ini mengawali sebuah dialog baru (Making a New Conversation)—dengan dunia. Sebelum FBF 2015, ada dua pameran buku internasional yang akan diikuti Indonesia yaitu di Bologna (31 Maret- 2 April) dan London (14-17 April) yang stannya juga akan menghadirkan para penulis dan pembicara dari Indonesia.
Waktu persiapan memang sudah sangat mepet, banyak peluang berskala dunia yang akan luput tanpa persiapan matang. Namun, dengan upaya (dibantu doa ratusan juta penduduk Indonesia) seharusnya kesempatan untuk mengawali dialog baru ini bisa kita lakukan dengan sebaik-baiknya sehingga tema “17,000 islands of imagination” benar-benar mewujud menjadi kebanggaan nyata bukan sekadar slogan tanpa makna. Siapkah kita? Semoga. []Sari Meutia, Sabtu 21 Maret 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H