Leipzig mungkin bukan nama yang populer bagi kebanyakan orang Indonesia seperti halnya Munich atau Frankfurt—kota-kota tempat terdapat penerbangan langsung dari Indonesia ke Jerman. Menuju Leipzig, dibutuhkan 55 menit waktu terbang lagi dari Frankfurt atau 1 jam perjalanan darat dari Berlin yang berjarak 150 kilometer. Penduduk Leipzig hanyalah 550 ribu jiwa. Pada masanya, kota ini pernah berjaya menjadi pusat terpenting pembelajaran dan budaya di Eropa, terutama di bidang musik dan penerbitan. Di kota inilah, komposer musik dunia seperti Johan Sebastian Bach dan William Richard Wagner pernah bekerja. Johan Sebastian Bach bahkan wafat di kota ini.
Kini, salah satu syarat bagi negara yang menjadi tamu kehormatan (guest of honour) di Frankfurt Book Fair/FBF adalah hadir di pameran buku Leipzig (Leipzig Book Fair/LBF. Untuk memenuhi syarat itulah, stan Indonesia hadir di LBF selama 12-15 Maret 2015. Leipzig Book Fair sendiri konon sudah berusia 600 tahun lebih.
Sepanjang perjalanan menuju gedung pameran atau Leipzig Trade Fair dari pusat kota Leipzig yang berjarak 7 kilometer dapat disaksikan poster-poster besar dengan tulisan Aus Worten Werden Weltern—Dari Kata Lahirlah Dunia, yang menjadi tema LBF 2015.
Leipzig Trade Fair adalah gedung baru pameran yang dibangun pada 1995 dan dibuka pada April 1996. Di gedung ini, terdapat 6 aula besar; dengan 5 aula sebagai tempat pameran. Luas Leipzig Trade Fair sendiri mencapai 20,000 meter persegi dan merupakan Aula Kaca melengkung (levitated) terbesar di dunia. Trem, kereta api, bis dan mobil dapat menjangkau kawasan pameran ini dengan mudah. Halamannya menyediakan 7000 lahan parkir. Aula yang terbuat dari kaca dengan langit-langit yang tinggi serta aliran udara yang lancar menghadirkan kesan luas dan nyaman walaupun pengunjung padat. Kalau merasa sumpek di dalam pameran, bisa menikmati udara segar di halamannya yang memiliki hamparan luas kolam yang menyejukkan mata.
“Tidak ada pameran internasional yang pernah saya hadiri, menyerupai denyut pameran ini,” batin saya ketika memasuki aula pameran pada hari pertama, Rabu 12 Maret. Bahkan sebelum pintu pameran dibuka, pengunjung sudah menyemut. Pameran ini memang terbuka untuk umum dari hari pertama hingga hari terakhir, dengan membayar tiket masuk termurah yaitu 12 euro, yang ternyata tidak murah juga bagi kantong mahasiswa Eropa. Namun, dari pengamatan hari pertama hingga terakhir, pengunjung tetap ramai, baik pada hari kerja maupun akhir pekan.
Jangan bayangkan pameran ini seperti pameran buku di Indonesia. Di LBF, stan-stan yang ada tidak menjual buku, hanya memajang buku dan mengadakan acara atau program yang fokusnya pada diskusi atau“reading”. Bila ada buku yang dipajang ingin dibeli, tersedia toko buku di dalam pameran. Hebatnya lagi, tidak seperti pameran di Indonesia, tidak ada pemberian diskon atau hadiah untuk pembeli buku layaknya daya tarik sebuah pameran. Di sini tidak dibenarkan menjual dengan harga diskon. Harga yang dikenakan harus sama dengan harga di toko buku di luar pameran. Kemungkinan yang membuat orang datang dan membeli buku di pameran adalah kesempatan untuk menghadiri diskusi atau reading serta mendapatkan tanda tangan dari penulis favorit yang hadir dari belahan dunia yang jauh.
LBF merupakan cikal bakal Frankfurt Book Fair—pameran yang kini menjadi pemeran buku terbesar di dunia. Walaupun LBF bukanlah pameran buku terbesar, namun perannya menjadi penting karena penekanannya berbeda dari pameran lainnya. LBF lebih fokus pada seni dan literatur (sastra). Dengan penduduk 550 ribu jiwa, LBF dapat menarik 2000 eksibitor, 3000 peserta dan lebih dari 400 lokasi ‚reading“. LBF diakui sebagai tempat berlangsungnya festival reading terbesar di Eropa. Penulis-penulis sastra dunia seperti Herta Muller, Gunther Grass dan Jussi Adler-Olse hadir dan menguatkan kesan atas tema pameran tahun 2015 ini.
Selain itu, di pameran ini juga tersedia Music Café, stan terbuka yang menyajikan penampilan permainan piano, biola, gitar berkelas dunia. Hari pertama saja sudah disuguhkan dengan permainan piano yang sangat lincah, Turkish March, dari Mozart. Benar-benar mengalirkan semangat bagi peserta pameran yang datang dari negeri jauh berjarak ribuan kilometer dan mungkin belum lama mendarat setelah terbang belasan jam.
Entah bagaimana sejarahnya, apakah untuk menarik kaum muda, atau ada alasan lainnya, ini untuk kedua kalinya salah satu aula di LBF didedikasikan untuk Manga Comic Convention yang skalanya juga terbesar di dunia. Di Manga Comic Convention ini, terhampar bagi kita dunia imajinatif yang meliputi anime, manga comic dan cosplay. Jadi suatu pemandangan yang mungkin agak kontras, ketika di satu lokasi aula sedang diadakan sesi reading atau pembacaan puisi yang sangat serius, berseliweranlah dengan santai anak-anak muda dengan kostum manga favoritnya atau bahkan hadir di tengah penonton menikmati acara reading ini.
Kembali ke stan Indonesia sebagai peserta LBF, ini menjadi panggung pembuktian pertama bahwa kita layak hadir sebagai tamu dunia. Lepas dari persoalan birokrasi yang menggayuti translation funding program (program pendanaan penerjemahan) yang menjadi paket sebagai guest of honour Frankfurt Book Fair 2015, dalam LBF Indonesia tidak saja hadir dengan display buku dan rights catalogue yang siap dijajakan ke penerbit Jerman. Di stan Indonesia juga diadakan diskusi buku, pembacaan dan musikalisasi puisi, tarian serta pemutaran klip film yang acap kali mengundang kerumunan pengunjung yang mungkin penasaran ketika membaca tagline stan yang tertulis “17.000 islands of imagination” dengan desain logo yang atraktif.
Pameran LBF menjadi saksi kehadiran pertama kali para sastrawan Indonesia seperti Ahmad Tohari, Sapardi Djoko Darmono, Laksmi Pamuntjak, Goenawan Mohamad, para ilustrator novel grafis seperti Evan Raditya, Beng Rahadian serta chef terkenal kita, Sisca Soewitomo di pentas internasional, sebelum FBF 2015.
Semua penampil hadir dengan sesuai kapasitas mereka. Pak Sapardi selain mengulas puisinya, juga membacakan beberapa di antaranya. Bu Sisca tampil dengan gayanya yang kocak dan menghibur dibantu dengan rangkaian slides presentasi tentang kekayaan bumbu Indonesia. Sayang sekali, untuk alasan keamanan, tidak diperkenankan memasak di stan, sehingga yang paling jauh tentang kegiatan memasak yang bisa dilakukan bu Sisca di stan adalah mengulek bumbu-bumbu khas masakan Indonesia.
Pada hari kedua pameran, tim media (cetak, elektronik dan daring ) yang dibawa dari Indonesia sudah memberitakan beragam sudut pandang mereka tentang acara-acara yang digelar di stan Indonesia melalui surat kabar cetak dan televisi yang ada di Indonesia dan pelbagai media daring sehingga rakyat Indonesia langsung mendapatkan informasi terkini tentang kegiatan delegasi Indonesia di pentas Leipzig. Sebuah kontrol yang seharusnya efektif untuk penyelenggaraan program-program semacam di panggung internasional yang melibatkan anggaran pemerintah yang besar.
Seluruh kegiatan di Leipzig diakhiri dengan pementasan musik dan tari yang dipimpin aktor kawakan Slamet Rahardjo dan timnya. Dengan memanfaatkan lahan pentas di stan yang sempit, menggunakan properti sederhana seperti lonceng dan sapu lidi, mas Slamet dan kawan-kawan berhasil mengalirkan kehangatan, keramahan dan kegembiraan—sebuah negeri berpenduduk 200 juta jiwa lebih yang hidup di lebih 13,000 pulau—kepada para penonton asing yang kemudian terlibat ikut menari di pentas yang sempit itu, atau sekadar terpaku di luar stan sambil menyaksikan dengan antusias. Sebuah penutup yang menghibur di pameran sebuah kota yang dikenal sebagai tempat festival reading (sastra) terbesar di Eropa.
Leipzig seharusnya menjadi awal yang menggairahkan dan menyemangati seluruh delegasi untuk bekerja lebih cerdas, lebih giat dan lebih kompak lagi sebagai tim untuk pentas yang lebih besar sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Mengutip Goenawan Mohamad dalam pengantarnya di buku program Indonesia, pentas ini mengawali sebuah dialog baru (Making a New Conversation)—dengan dunia. Sebelum FBF 2015, ada dua pameran buku internasional yang akan diikuti Indonesia yaitu di Bologna (31 Maret- 2 April) dan London (14-17 April) yang stannya juga akan menghadirkan para penulis dan pembicara dari Indonesia.
Waktu persiapan memang sudah sangat mepet, banyak peluang berskala dunia yang akan luput tanpa persiapan matang. Namun, dengan upaya (dibantu doa ratusan juta penduduk Indonesia) seharusnya kesempatan untuk mengawali dialog baru ini bisa kita lakukan dengan sebaik-baiknya sehingga tema “17,000 islands of imagination” benar-benar mewujud menjadi kebanggaan nyata bukan sekadar slogan tanpa makna. Siapkah kita? Semoga. []Sari Meutia, Sabtu 21 Maret 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H