Bagaimana siih cara kita mengetahui pertumbuhan ekonomi suatu negara dan pengaruhnya terhadap angka kemiskinan??
Menghitung pertumbuhan ekonomi suatu negara biasanya menggunakan pertumbuhan nilai PDB (Produk Domestik Bruto) atau biasa disebut GDP (Gross Domestic Product). GDP menghitung total barang atau jasa yang dihasilkan suatu negara dengan satuan mata uang negara tersebut yang menggunakan harga pada saat tahun dasar. Â Misalnya, Negara Indonesia yang menggunakan mata uang rupiah, maka perhitungan GDP dihitung dengan menaksir nilai segala barang dan jasa yang dihasilkan dalam Negara Indonesia dengan harga rupiah tahun 2010 (biasanya diperbaharui 10 tahun sekali, tetapi pada tahun 2020 terjadi gejolak ekonomi sehingga harga tahun dasar yang digunakan masih tahun 2010).Â
Idealnya, apabila suatu negara ekonominya bertumbuh maka angka kemiskinan penduduknya pun akan berkurang. Bagaimana dengan Indonesia? Mari kita lihat pertumbuhan ekonomi indonesia dan angka kemiskinan Indonesia 5 tahun terakhir.
GDP Indonesia dengan harga tahun dasar 2010 5 tahun terakhir adalah sebagai berikut:
- Pada tahun 2019 senilai 11.583,32 triliunÂ
- Pada tahun 2020 senilai 11.143,97 triliun
- Pada tahun 2021 senilai 11.891,34 triliun
- Pada tahun 2022 senilai 12,851,58 triliun
- Pada tahun 2023 senilai 12.316,27 triliunÂ
Jika dilihat dari data GDP tersebut terlihat bahwa nilai GDP cenderung naik kecuali pada tahun 2020 karena pandemi Covid-19. Kenaikan GDP ini apakah sejalan dengan berkurangnya angka kemiskinan? Kita bisa lihat di data angka kemiskinan 5 tahun terakhir berikut ini
 Pada tahun 2019 sejumlah 25,14 jutaÂ
Pada tahun 2020 sejumlah 26,42 juta
Pada tahun 2021 sejumlah 26,5 juta
Pada tahun 2022 sejumlah 26,5 juta
Pada tahun 2023 sejumlah 25,9 juta
Dilihat dari data GDP dan jumlah penduduk miskin Indonesia selama 5 tahun terakhir tersebut dapat dilihat bahwa naik turunnya GDP tidak selalu diikuti turun naiknya angka kemiskinan di Indonesia. Hal ini dikarenakan GDP hanya melihat jumlah nilai barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu negara, tidak mencerminkan persebarannya.Â
Semisal, jumlah produksi barang dan jasa dari perusahaan milik 10% orang terkaya di Indonesia sebesar 1 triliun rupiah dan jumlah produksi dari 80% orang lainnya di Negara Indonesia senilai  1 triliun rupiah, maka GDP Indonesia akan dihitung sebesar 1 triliun rupiah. Dilihat dari contoh di atas dapat dilihat bahwa gap antara penghasilan yang paling tinggi dan penghasilan paling rendah sangat jauh. Untuk melihat kesenjangan pendapatan biasa digunakan rasio gini.
Rasio gini adalah sebuah ukuran statistik yang digunakan untuk menilai ketimpangan pendapatan dalam suatu populasi. Rasio ini dihitung berdasarkan Kurva Lorenz, yang secara grafis menggambarkan distribusi pendapatan. Kurva Lorenz yang sama rata ( setiap orang memiliki proporsi pendapatan kumulatif yang sama dengan proporsi populasi mereka) akan menghasilkan rasio gini 0. Kurva Lorenz yang sangat tidak sama rata (saatu orang memiliki semua pendapatan) akan menghasilkan rasio gini 1. Maka, semakin rendah nilai rasio gini, semakin rendah pula ketimpangan pendapatan, begitupun sebaliknya.Â
Dalam Islam untuk mengatasi distribusi pendapatan yang tidak merata ada yang namanya konsep distribusi, yaitu bagaimana caranya agar sumberdaya atau harta yang ada tidak berkumpul di sebagian kecil manusia saja. Prinsip prinsip distribusi dalam islam meliputi zakat, infaq, sedekah, wakaf, dan pelarangan riba. Pertama, zakat bermanfaat untuk menyalurkan harta dari golongan yang hartanya sudah mencapai nisab dan haul kepada golongan yang masih di bawah had kifayah (zakat poverty line). Kedua, infaq dan sedekah dapat membantu orang yang membutuhkan. Ketiga, wakaf berfungsi untuk menyalurkan harta untuk kepentingan khalayak umum. Keempat, larangan riba mencegah eksploitasi golongan orang yang membutuhkan dengan utang yang beranak-pinak. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H