Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selamat Hari Guru untuk Diriku

25 November 2020   20:53 Diperbarui: 25 November 2020   21:01 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika pada hari guru tahun kemarin di dalam tulisanku yang berjudul "Pak Nadiem, Perubahan Apa yang Harus Dilakukan untuk Mencetak Calon Guru?" saya mengucapkan selamat kepada guru-guruku, juga kepada teman-temanku yang telah berprofesi menjadi guru, maka pada hari guru 25 November 2020 ini saya mengucapkan selamat hari guru untuk diriku sendiri.

Waktu kecil setiap orang pasti pernah bercita-cita. Ada yang ingin jadi guru, dokter, polisi, tentara, pramugari, dan lain-lain. Termasuk saya dulu ketika SD. Saya terinspirasi dengan guru saya Bu Sri Marmiyati, beliau guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Beberapa kali beliau mengantar saya untuk mengikuti lomba Baca Tulis Al Qur'an (BTA). Sejak itu saya memantapkan diri untuk memiliki cita-cita menjadi guru PAI.

Dulu saya tidak tahu apa itu Pegawai Negeri Sipil, apa itu guru tidak tetap, berapa gaji guru, apa itu sertifikasi, dan lain-lain. Saya buntu tentang hal-hal itu, meski saya bercita-cita menjadi guru sejak Sekolah Dasar. 

Mungkin tulisan ini seperti diary yang bersifat subjektif. Tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan profesi apapun. Tapi melalui tulisan ini saya ingin menggambarkan perjuangan saya untuk menjadi guru sekaligus mencari jati diri saya hingga akhirnya sekarang di tahap ini.

Tentu setiap orang pernah berjuang, dan memiliki perjuangannya masing-masing. Termasuk saya. Bagi saya ini adalah perjuangan yang tidak mudah. Yang harus saya alami sejak lulus S1 (2017) hingga akhir tahun 2019.

Ketika lulus S1 saya mulai melamar ke beberapa sekolah. Di pikiran saya saat itu saya hanya ingin segera mengajar. Namun ternyata takdir berkata lain, selepas wisuda saya diminta untuk menjadi asisten dosen oleh pembimbing skripsi saya. Bagi mereka yang freshgraduate, mungkin ini suatu tawaran yang keren. Beberapa teman saya bahkan mengira bahwa saya digaji dan memiliki banyak uang.

Seperti para freshgraduate lain yang sedang dalam masa kebingungan mencari jati diri, saya pun demikian, dan akhirnya menerima tawaran itu. Meski tidak ada tanda tangan kontrak, hanya ucapan lisan, tapi setelah dijalani itu sungguh-sungguh memberatkan saya.

Tadinya saya bilang kepada dosen pembimbing saya tersebut bahwa saya telah melamar di beberapa sekolah dasar. Tapi dosen saya malah kaget dan mengatakan hal-hal yang tidak baik tentang profesi guru. 

Beliau meminta saya tetap menjadi asisten dosen dengan syarat tidak bekerja apapun selain fokus untuk mewujudkan harapan (nya) agar saya menjadi dosen, atau tetap menjadi guru SD dan beliau tidak akan memberi lagi tawaran kepada saya untuk beliau bimbing supaya kelak menjadi dosen. Saya pun memilih untuk menjadi asisten dosen selama hampir 2 tahun, sekaligus mengambil gelar magister di kampus saya.

Pekerjaan saya selama menjadi asisten dosen sebenarnya tidak rumit, saya mengurusi administrasi dosen saya tersebut, menilai tugas mahasiswa, berkesempatan untuk menggantikan dosen saya ketika tidak mampu mengajar, juga diberi kesempatan untuk berdiskusi dengan mahasiswa ketika jadwal presentasi, dan menjadi pengawas ketika ujian.

Selain karena pekerjaan yang tidak berat, menjadi asisten dosen juga terlihat bergengsi dan keren di pandangan adik-adik mahasiswa. Tapi ada tidak enaknya juga, saya merasa tidak enak karena sering berjumpa dengan dosen-dosen saya yang lain. Terlebih saya anaknya introvert, pendiam, dan irit bicara.

Sebagai asisten dosen, saya tidak setiap hari masuk kantor karena posisi saya bukanlah karyawan disitu, hanya membantu saja. Saya juga tidak mendapatkan pendapatan yang pasti. Saya mendapatkan pendapatan hanya jika saya membantu dosen saya. Bisa satu bulan hanya 2 minggu atau bahkan kadang satu bulan saya tidak bekerja.

Dosen saya bilang bahwa tugas saya bukanlah bekerja, tapi belajar agar kelak bisa menjadi dosen menggantikan beliau. Hal-hal yang harus dipersiapkan agar menjadi dosen adalah ada hasil penelitian (tulisan) kita yang terbit di jurnal ilmiah, nilai toefl kita di atas 600, dan tes potensi akademik di atas 500.

Jujur saya terasa bosan dengan hidup saya selama 2 tahun itu karena saya harus belajar demi mempersiapkan itu semua. Sedangkan dipikiran saya saat itu saya hanya ingin bekerja dan memiliki pendapatan yang pasti. Saya iri dengan teman-teman saya yang menjadi guru. Saya merasa terbebani dan kurang bersosialisasi karena setiap hari harus mengurung diri di kamar untuk belajar jika tidak ada pekerjaan, juga karena saya merasa saya adalah seorang pengangguran.

Saya pernah merasa stress, takut dengan masa depan, takut mengecewakan banyak orang, takut menjalani kehidupan hari esok, dan saya selalu ingin melarikan diri. Saya hanya curhat kepada kakak saya yang ada di Jakarta, hanya dia yang sering saya ajak bicara tentang kondisi saya. Saya tidak berani bilang kepada kedua orangtua saya karena mereka telah berharap terlalu tinggi kepada saya.

Akhirnya saya melewati masa wisuda S2 saya di bulan Juni 2019. Saat itu dosen pembimbing saya tersebut memberi saya saran (tapi bagi saya lebih tepatnya adalah menyuruh saya) untuk langsung mengambil S3. Untuk menjadi dosen di kampusku memang ini adalah syaratnya. Jujur saya semakin terbebani. Saya sering menyesali diri kenapa dulu saya menerima tawaran untuk menjadi asisten dosen. Saya tahu bahwa tidak ada yang salah, tetapi saya sadar bahwa ini bukan kemauan saya.

Hingga akhirnya di akhir tahun 2019 saya di keluarkan dari grup whatsapp "pengawas ujian" dengan alasan sudah tidak membutuhkan saya lagi karena ada pengawas baru. Hari itu rasanya saya ingin menangis, antara senang atau sedih, saya tidak tahu. Senang karena akhirnya saya harus mengakhiri masa-masa kecanggungan saya berhadapan dengan dosen-dosen lain sesama pengawas, dan sedih karena saya benar-benar pengangguran. Tapi saya merasa lebih merdeka.

Hari itu juga saya berkemas dari kost-kostan saya dan pulang ke Wonogiri. Saya merasa lebih lega karena akhirnya saya bisa menentukan keinginan saya sendiri.

Hari-hari saya lewati. Dosen saya tidak menghubungi saya lagi. Saya mulai melamar ke sekolah-sekolah di Wonogiri. Saya bertanya kepada tetangga-tetangga saya, saya mendapat kabar bahwa bu Sri Marmiyati telah pensiun dan belum ada guru pengganti. Memasuki tahun ajaran baru saya pun melamar ke sekolah saya tersebut, dan melamar ke MI swasta dekat rumah saya yang baru 3 tahun berdiri.

Di sekolah negri tempat saya sekolah dulu ternyata saya langsung diterima. Sayangnya di sana banyak guru honorer yaitu 8 orang, dan hanya 1 yang PNS. Saya juga belum diberi SK mengajar, belum tanda tangan kontrak, tidak diberi tahu berapa honor saya.

Selang 1 bulan kemudian ketua yayasan MI yang saya lamar menghubungi saya. Saya diterima di sekolah tersebut tapi mengajar TK. Tadinya saya ragu karena saya belum pernah menghadapi anak kecil, dan tidak pernah ada bayangan untuk mengajar taman kanak-kanak. Tapi akhirnya saya memantapkan diri untuk menerima, memulai belajar hal baru, dan lebih membuka diri dengan dunia anak-anak. Saya pun keluar dari SD tersebut karena di TK tidak boleh doble di sekolah lain.

Saat ini, saya bersyukur dengan keputusan saya waktu itu. Saya bersyukur telah memilih untuk kembali ke desa, mengajar di TK, dan mengajar anak-anak desa saya di rumah.

Anak-anak di desa saya belajar di rumah saya selama pandemi. Dokumentasi pribadi
Anak-anak di desa saya belajar di rumah saya selama pandemi. Dokumentasi pribadi
Kini, setiap harinya saya hidup dengan lebih bersemangat karena saya merasa menjadi orang yang bermanfaat untuk sekitar saya. Saya tidak perlu menjadi orang lain untuk disukai anak-anak, mereka dengan sendirinya berceloteh tentang banyak hal. Saya juga belajar mengenali karakteristik mereka, belajar tentang dunia mereka, belajar mengenali masalah-masalah mereka, dan membantu menyelesaikannya.

Tentang Lee yang sulit menulis, Me yang suka memusuhi teman-temannya, Faa yang ingin menunjukkan banyak mainannya kepadaku, Ann yang pendiam namun ternyata bisa berteriak juga, Teg yang kesulitan mengeja bacaan, Zaa yang suka usil, Feel yang mudah iri, dan lain-lain.

Meskipun saya tidak mengajar dengan bidang yang sesuai dengan jurusan saya, tapi saya senang dapat belajar hal baru. Saya belajar untuk berkreasi. Dulu ketika saya SD saya tidak ahli menggambar atau membuat prakarya, saya malu ketika harus menyanyi di depan orang, meski saya sebenarnya suka mendengarkan musik. Tapi karena mengajar TK maka saya pun mendapat keterampilan baru untuk berkreasi, dan saya juga dituntut untuk menyanyi lagu anak-anak. Sekarang saya lebih percaya diri ketika harus menyanyi di depan siswa-siswa saya.

Beberapa kreasi saya dari belajar dengan guru-guru Tk (dokumentasi pribadi)
Beberapa kreasi saya dari belajar dengan guru-guru Tk (dokumentasi pribadi)
Waktu kumpulan guru IGTKI saya bertemu dengan guruku TK, Bu Atun, saya tidak menyangka bahwa beliau masih mengingat saya, beliau memeluk dan menciumiku. "Ini dulu siswaku, sekarang jadi temanku." begitu ujarnya. Saya pun terharu. Tentu saya juga bangga jika suatu saat nanti siswa-siswaku akhirnya menjadi temanku.

Maka saya pun kini menyadari bahwa kebahagiaan itu tidak terletak pada materi, jabatan, status, ataupun profesi kita, tetapi kebahagiaan itu datang sendiri. Bagiku kebahagiaan adalah ketika aku bisa memberikan yang terbaik untuk orang lain, ketika aku menjadi bermanfaat bagi orang lain, maka aku bahagia. Selamat hari guru untuk diriku sendiri. Terimakasih telah berjuang mewujudkan cita-citaku sendiri. Begitu pun untuk kamu para pejuang. :)

Foto ketika saya TK. Bu Atun (tengah), saya (depan Bu Atun). (Dokumentasi pribadi)
Foto ketika saya TK. Bu Atun (tengah), saya (depan Bu Atun). (Dokumentasi pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun