Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bagaimana Menangani Masa Pubertas pada Anak Autisme?

29 Agustus 2020   22:27 Diperbarui: 30 Agustus 2020   08:41 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kupu-kupu merupakan simbol anak autistik. Mereka digambarkan cantik tetapi rapuh, seperti kupu-kupu. Karena kerapuhannya itulah kita harus menanganinya dengan sangat hati-hati. Supaya sayapnya tidak rusak, supaya potensi-potensinya tidak robek. Tetap mengembang dengan cantik, membawa mereka terbang, menunaikan tugas sesuai dengan fitrahnya.

Tulisan ini merupakan catatan yang saya ikuti dalam grup Diskusi Autisme KGB Surakarta di Telegram pada 14 Maret 2020, yang dipandu oleh Kak Nur Dani Rumanti (Kak Dani) selaku moderator, dan Ibu Siwi Parwati A. Basri (Ibu Siwi) selaku narasumber.

"Pernah tahu ada anak autis yang berhubungan badan dengan ibunya? Ada yang memperk0s4 anak gadis tetangga? Ada yang kecanduan 0nani dibantu tangan ibunya? Ada yang memukuli orangtuanya setiap malam karena minta k4win? ada yang 0nani di mall dan dimana saja setiap melihat perempuan seksi? Ada yang 0nani di mobil kemana saja dia pergi sampai mobilnya bau sperm4? Masih kurang vulgar bagaimana saya menyampaikannya?" Demikianlah opening Bu Siwi untuk memantik diskusi kami malam itu.

Ibu Siwi merupakan seorang praktisi autisme dan shadow teacher. Melalui buku "Panduan Autisme Terlengkap" Karya Theo Peters, beliau membimbing anaknya, Rama Dani Syafriyar, penyandang autisme.

Rama kini telah lulus dari SMA PL Don Bosco Semarang dan tengah menyiapkan studi lanjutnya di Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) jurusan Desain Komunikasi Visual.

Rama dan Ibu Siwi. Sumber: facebook Siwi Parwati A. Basri
Rama dan Ibu Siwi. Sumber: facebook Siwi Parwati A. Basri
Sebagai penyandang autis Rama tumbuh menjadi pribadi yang membanggakan, percaya diri, dan mampu bersaing dengan siswa-siswa nonautistik.

Prestasi yang diraihnya antara lain memenangkan kejuaraan spelling bee tingkat Semarang, masuk 5 besar lomba pidato, masuk 10 besar lomba story telling tingkat kabupaten, menguasai program-program komputer secara otodidak, dan memiliki minat besar di bidang astronomi.

Sebagai penyandang autis, Rama tidak bisa berbahasa Indonesia, tetapi dia paham dengan lawan bicaranya yang menggunakan bahasa Indonesia.

Rama mengalami masalah gangguan konsep bahasa. Sejak pertama kali mampu berbicara, ia hanya bisa berbahasa Inggris.

Rama juga memiliki kesenangan menggambar mobil secara detail dan menyukai dunia fotografi.

Gambar Rama. Sumber: facebook Siwi Parwati A. Basri
Gambar Rama. Sumber: facebook Siwi Parwati A. Basri
Karena kesuksesannya membimbing Rama inilah, Ibu Siwi dikenal sebagai motivator untuk orangtua anak-anak autis.

Autisme Spectrum Disorders (ASD) atau gangguan spektrum autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang, sehingga menyebabkan penderita mengalami masalah dan kesulitan dalam membina hubungan sosial, berkomunikasi secara normal, memahami emosi dan perasaan orang lain, menunjukkan perilaku yamg repetitif, dan mengalami perkembangan yang terlambat atau tidak normal. Sumber.

Dalam diskusi malam itu, Bu Siwi fokus menjelaskan tentang seksualitas pada anak autis. Anak ASD mengalami gap usia mental dan usia biologis yang berbeda.

Secara fisik mereka tumbuh seperti non-ASD, perubahan-perubahan primer dan sekunder, perkembangan hormonal, mood swing (suasana hati), dan libido sama seperti non ASD.

Problemnya adalah karena gap usia mental dan kognisi mereka lambat, maka pemahaman seksualitas dan pengendalian dirinya akan menjadi sulit.

Gap usia mental yang dimaksud adalah, misalnya anak ASD yang usia biologisnya 19 tahun, mungkin akan mengalami keterlambatan usia mental lima tahun, sehingga cara berfikirnya akan menjadi seperti anak usia 14 tahun.

Mungkin dia berhasil secara akademik, dan sudah mulai kuliah, namun secara mental dia adalah anak usia 14 tahun.

Bu Siwi menekankan kepada orangtua untuk memberikan pengetahuan sosial moral dan seksualitas sedini mungkin. Beliau mewanti-wanti agar orangtua jangan mengatakan, "Anakku lugu, tidak tahu apa-apa."

Justru karena persepsi itulah, maka libido yang akan menguasai diri anak, karena mereka tidak punya pengetahuan mana yang benar dan mana yang salah.

Jika mereka tidak diintervensi dengan benar sejak dini, maka mereka akan pegang kendali. Orangtua akan ketakutan, remaja ngamuk di jalan. Semua keinginan harus dikabulkan. Yang akan menjadi korban adalah lingkaran terdekat anak ASD tersebut yaitu orangtua, terapis, dan gurunya.

Sebagai contoh kasus yang diceritakan oleh Bu Nita Nitiya, selaku seorang guru yang memiliki siswa ASD. Saat ini siswa tersebut telah berusia 19 tahun dan berkuliah di Art Therapy Centre.

Dosennya mengatakan bahwa anak tersebut sering menempelkan kemaluannya kepada temannya. Ia juga sering bermimpi basah tentang cowok ganteng, sehingga dosennya berasumsi anak tersebut memiliki penyimpangan seksual.

Kisah lain diceritakan oleh Ibu Munifah Suswanto selaku guru. Ia mengajar di sekolah umum, di mana di sana terdapat anak ASD.

Anak tersebut sering menghadap tembok dan memegang kemaluan. Banyak berkas sperma di celana dalam yang dipakainya dan cukup sering.

Untuk mengatasi problem-problem semacam itu, Ibu Siwi menyarankan agar anak tersebut terus diberi kesibukan, karena jika anak tidak diberi kesibukan atau banyak waktunya yang kosong, anak akan terus melakukan hal-hal yang memuaskan libidonya. Di rumah, lingkungannya juga harus bersih dari hal-hal yang berbau seksual sehingga pikirannya tidak terpancing ke libido.

Gambar, patung, tontonan, dan juga pemisahan kamar dengan orangtua merupakan hal wajib untuk dibereskan. Juga orangtua harus menyelidiki apa pemicu libidonya.

Ada ASD yang melihat mainan bebek karet langsung terangsang dan beronani saat itu juga. Kalau kita tahu apa pemicu libidonya, kita akan bisa mencegah perilaku seksualnya di tempat umum.

Selain itu juga harus diperhatikan dietnya. Stop mengkonsumsi daging merah, karena daging merah dapat meningkatkan libido. Dan lakukan olahraga rutin yang membuat dia berkeringat dan capek secara fisik.

Jika anak tersebut memiliki pendamping, maka tugas pendamping adalah mengisi waktu kosong anak tersebut dengan kesibukan tertentu sebagai pengalih pikiran seksualnya.

Ibu Siwi juga menyarankan agar anak autis jangan diijinkan melakukan masturbasi. Karena sekali dia merasakan nikmatnya masturbasi, dia ingin mengulangi kenikmatan itu. Ini bisa berpotensi mengalihkan pikirannya dari tugas-tugas utama dan perannya sebagai remaja. Membuatnya tidak konsentrasi.

Terdapat empat tahap yang harus dilakukan untuk mengajarkan tentang pendidikan seksualitas kepada anak ASD. Pertama, orangtua memulai pembiasaan menjaga area private anak.

Kasus yang kerapkali muncul adalah banyak kejadian dimana anak autis karena mengalami gangguan sensori, mereka dibiarkan telanjang kemana-mana tanpa menggunakan baju, atau dibiarkan hanya menggunakan diapers kemana-mana supaya orangtua tidak repot, atau hanya memakai celana saja dengan anggapan dia masih kecil.

Hal ini jika tidak diatasi, akan merepotkan jika nanti mereka sudah besar. Jadi sejak kecil mereka harus dibiasakan berpakaian lengkap, terutama ketika keluar dari kamar mandi.

Kedua, pengenalan genital. Meskipun anak ASD dimasa dini belum bisa bicara, tetapi mereka akan mengingat apa yang dialami, didengar, dan dilihat. Mereka diam-diam merekam. Mereka paham kata-kata, hanya saja mereka belum mampu merespon.

Ketiga, mengenalkan lingkaran sosial anak tentang siapa yang boleh dipeluk, siapa yang boleh disentuh dan menyentuh, dan siapa yang boleh di cium. Gambar berikut merupakan lingkaran sosial anak.

dokumentasi pribadi dari grup Diskusi Autisme KGB Surakarta
dokumentasi pribadi dari grup Diskusi Autisme KGB Surakarta
Warna hijau menunjukkan tentang orang-orang yang boleh dipeluk, disentuh, dan dicium. Warna kuning untuk keluarga besar, boleh dipeluk dan dicium sampai anak berusia 10 tahun.

Selain warna itu, yakni warna kuning dan merah hanya boleh salam namaste (kedua tangan di depan dada seperti menyembah).

Masa pembelajaran ini harus sudah selesai sampai anak usia 10 tahun. Sehingga, waktu anak masuk praremaja, dia sudah tahu apa yang harus dijaga dalam hubungannya dengan orang-orang di lingkungan, terutama dengan lawan jenisnya.

Empat, Pengendalian libido, seperti yang dijelaskan pada kisah di atas.

Terakhir, sebagai penutup tulisan ini.

Kisah horor itu belum tentu soal hantu gentayangan atau arwah penasaran. Horror itu adalah bom yang dirakit di masa lalu baru meledak di masa sekarang. Anak autis yang tidak diintervensi seoptimal mungkin sejak dini, akan meledak saat memasuki masa remaja, dan menjadi penghancur di masa dewasa. Banyak kisah tentang agresifitas dan destruktifitas penyandang autisme, yang akhirnya menghancurkan seluruh aspek kehidupan keluarga, membunuh orang-orang yang disayanginya, mencerai berai mereka yang seharusnya terus hidup bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun