Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film "Tilik" Representasi Sosialisasi Orang Desa

20 Agustus 2020   14:18 Diperbarui: 20 Agustus 2020   14:12 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bu Tejo dan Bu Ning sedang berdebat. Sumber:https://blue.kumparan.com/

Film "Tilik" menjadi trending topik di media sosial. Kata kunci dan tagar Bu Tejo sebagai tokoh utama, hingga peran pembantu lainnya seperti Dian, Yu Ning, Bu Lurah, Fikri, bahkan sopir truk Gotrek turut di perbincangkan. Sumber.

Film "Tilik" menceritakan tentang rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk Bu Lurah di rumah sakit dengan menggunakan truk. Sepanjang perjalanan, ibu-ibu tersebut asik bergosip seru tentang sosok Dian. Bu Tejo yang diperankan oleh Siti Fauziyah Saekhoni menjadi tokoh utama yang menyebar gosip-gosip tentang Dian. Ibu-ibu yang lainnya pun menjadi semangat untuk menambahi berbagai cerita lainnya tentang Dian.

Dari pekerjaan Dian yang katanya di hotel, kegiatan Dian yang pernah ke mall bersama om-om, Dian yang tampak supel dan ramah, Dian yang sering menyapa bapak-bapak di desa, hingga hubungan Dian dengan Fikri (anak bu lurah). Fikri sendiripun turut diperbincangkan karena dianggap anak semata wayang bu lurah yang kurang cakap dan malah memiliki pacar orang seperti Dian, yang dianggap perempuan tidak benar.

Bu Tejo dalam Film
Bu Tejo dalam Film
Dari kumpulan ibu-ibu yang bergosip tersebut, ada sosok Bu Ning. Bu Ning digambarkan sebagai orang yang berfikir positif tentang Dian. Dia berusaha untuk menasehati Bu Tejo agar jangan menyebar gosip yang tidak diketahui kebenarannya.

Namun nasehat dari Bu Ning terus dibantah oleh Bu Tejo. Bahkan Bu Tejo menuduh Bu Ning membela Dian karena Bu Ning masih kerabat dekat dengan Dian. Bu Tejo pun mendapatkan dukungan dari ibu-ibu lainnya. Hingga akhirnya terjadilah perseteruan seru antara Bu Ning dan Bu Tejo.

Bu Tejo dan Bu Ning sedang berdebat. Sumber:https://blue.kumparan.com/
Bu Tejo dan Bu Ning sedang berdebat. Sumber:https://blue.kumparan.com/
Sosok Bu Tejo semakin membuat gemas penonton dengan berbagai kelakuannya. Pergosipan, dan perdebatan panjang tersebut pun pada akhirnya dimenangkan oleh Bu Tejo. Karena setiba di rumah sakit, ternyata bu lurah tidak bisa dijenguk. Bu Ning sebagai orang yang tadinya mengajak ibu-ibu itu untuk menjenguk Bu Lurah pun akhirnya terpojokkan. Lantas Bu Tejo pun membalikkan ucapan Bu Ning , "Dadi nyebarke kabar sing rung cetho kuwi klebu fitnah ora, he?" (Jadi menyebarkan kabar yang belum tentu benar itu masuk fitnah gax ya, ha?) Lalu disambut ibu-ibu lainnya, "yo embuh yo." (ya gak tau ya).

Bu Tejo pun kemudian menyindir Bu Ning yang tengah menyesal karena sudah mengajak ibu-ibu jauh-jauh ke rumah sakit, tapi ternyata tidak bisa dijenguk. "Uwes-uwes yu ning, ora ono sing salah, ora ono sing kleru. Awakedewe ki reti yen niatmu kuwi sakjane apik, yo. Eh, Trek, Trek, Trek, awakedewe ki wes tekan kene piye nek mampir sik ning pasar gedhe, wae, he?" (Sudah-sudah Mbak Ning, tidak ada yang salah, tidak ada yang keliru. Kita tau jika niatmu itu baik, ya. Trek, Trek, Trek (memanggil Gotrek), kita kan sudah sampai sini, gimana kalau mampir ke pasar besar (Beringharjo) dulu?. Ibu-ibu yang lainnya pun berseru senang. "Dadi uwong ki sing solutif, ngunu lho." (Jadi orang itu yang solutif, gitu lho). Pungkas Bu Tejo sambil senyam senyum menang.

Di sisi lain, Dian sedang menuju sebuah mobil. Di dalam mobil tersebut telah ada laki-laki paruh baya.

"Mas, kethoke aku wes ra betah yo mas delikan koyok ngene ki. Kapan yo mas yen Fikri iso nompo yen bapake arep rabi meneh?" (mas, sepertinya aku sudah tidah betah sembunyi seperti ini. Kapan ya mas, Fikri bisa menerima jika ayahnya akan menikah lagi?)

"Tenangno pikirmu, kowe kudu sabar, percoyo wae karo aku". Jawab laki-laki itu sembari menggenggam tangan Dian.

***

Film "Tilik" disutradarai Wahyu Agung Prasetyo dengan mengambil setting tempat di Yogyakarta. Film ini diproduksi pada tahun 2018 oleh Ravacana Films. Film hasil kerjasama dengan Dinas Kebudayaan DIY melalui Kompetisi Pendanaan Pembuatan Film tahun 2018 ini pun telah mendapat berbagai penghargaan, diantaranya yaitu Kategori Film Pendek Terpilih pada Piala Maya 2018, Official Selection Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2018, dan Official Selection  World Cinema Amsterdam 2019.

Karena kesuksesan film "Tilik" ini, Dinas Kebudayaan DIY kembali membuka Kompetisi Pendanaan Pembuatan Film tahun 2020 yang pendaftarannya telah dimulai sejak 20 Juli hingga 12 Oktober 2020.

Sumber: https://budaya.jogjaprov.go.id/
Sumber: https://budaya.jogjaprov.go.id/
Ending Film "Tilik" sebenarnya menggantung. Tapi meski menggantung, penonton mampu menemukan, menjawab, bahkan menyimpulkan sendiri, dan terlibat dalam asumsi-asumsi untuk mengarang cerita sendiri tentang ending film tersebut. Seperti contoh komentar-komentar mereka di Youtube Ravacana Film.

Nihagus Yuhamus: Apakah Yu Ning ini adalah representasi kita semua? Yang mencoba bertahan dari serangan hoax, mengklarifikasi sana sini dari tuduhan orang-orang terhadap seseorang yang kita "anggap" kenal. Tapi ternyata yang kita bela, yang kita pertahankan ternyata tak sebaik itu?

Reka Aditama: Diluar dari karakter Bu Tedjo dan kawan-kawan. Ada kehangatan yang sudah mulai memudar pada masyarakat Indonesia kini. Tradisi Tilik/menengok ini representasi gotong royong masyarakat Indonesia, bentuk kepedulian yang lebih bernilai dari sekedar ghibahan ibu-ibu. Semoga tradisi ini tidak hilang. Keren. Sukses filmnya.

Annisa Sanjaya: Deep, meangingful and deserve to win an award! Perjalanan yang jauh selama film, cukup menggambarkan betapa pelosoknya tempat mereka. Menggambarkan cara berfikir warga di daerah tersebut yang memang sangat mudah dipengaruhi oleh orang-orang macam Bu Tejo. The one who speaks the most, the one who became the leader. Menarik banget, dimana plot twistnya, adalah apa yang digosipin Bu Tejo dan Bu Tri itu, ada fakta yang benernya, dan mungkin akan terungkap nanti saat Dian yang emang cuantik nikah sama Pak Lurah.

Dan menariknya lagi, sadar tidak sadar, keadaan yang ekstrim digambarkan oleh tim Tilik, 'gosip ibu-ibu desa' happens to be terjadi juga di orang-orang kota yang mengaku lebih pintar, dan bukan ibu-ibu. Jadi the golden question is, apakah mindset 'orang kota lebih terbuka dibanding orang kampung' itu masih relevan?

Renovan Nache: Pesan yang disampaikan amat bagus. Mengingat film ini diproduksi tahun 2018, teknik sinematografinya juga cukup mulus. Alur cerita sederhana dan mudah dimengerti. Awalnya berfikir Bu Tejo adalah sang biang kerok. Tapi begitu melihat ending filmnya, ada twist yang sangat realistis yang terjadi akhir-akhir ini. Apapun motivasi Dian mendekati Pak Minto sang lurah, hanya dialah yang tahu. Karena sesungguhnya manusia itu tidak pernah puas. Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Dan pasti setiap keluarga punya kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Kunto LH: Bu Tejo adalah Indonesia, pure!! Mbak Tri merupakan gambaran netizen Indonesia yang berbahaya, Yu Sam sebagai tukang ngegongi, sementara Yu Ning Positifist yang terpinggirkan.

Pamintoko Teja Permana: Di balik mulutnya yang seperti itu, ternyata sosok bu tejo ini memang solutif, terlihat selama perjalanan dia tiga kali memberikan ide-ide solutif dan selalu diterima ibu-ibu.

Putri Hartaningrum: Waaaah endingnya. Suka sih sama film yang bisa membuka sudut pandang baru yang kayak gini. Yang sebelumnya aku ingin menghujat bu tejo, setuju dengan yu ning, dan kasihan sama dian, akhirnya malah jadi ragu sama pandanganku terhadap dunia.

Pipiet Kumala: Pelajaran yang dapat aku ambil, gax usah membela orang terlalu, karena kita tidak tahu bagaimana keadaan sebenarnya. Soalnya yang dibela ternyata gax sesuai ekspektasi.


Relevansinya Film "Tilik" dengan Kehidupan di Desa

Film "Tilik" mengingatkan saya pada konflik kehidupan yang ada di desa. Kegiatan tilik/menengok orang sakit, jagong, kerja bakti, rewang, arisan, dan lain-lain merupakan sarana sebagai media membicarakan orang lain atau bergosip. Biasanya orang yang tidak pernah bergosip, tidak pernah ikut kumpul-kumpul, akan mendapatkan label sebagai manusia yang tidak bisa bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Kegiatan bersosialisasi ini akan semakin erat ketika kita sibuk membicarakan baik tentang orang lain, keluarga sendiri, bahkan diri sendiri. Konflik-demi konflik pun akhirnya diceritakan.

Tanpa disadari pada akhirnya dimasyarakat banyak sekali yang menjadi Bu Tejo (orang yang suka bergosip) dan Dian (orang yang digosipkan), jarang sekali yang menjadi Bu Ning (orang yang berusaha menasehati agar tidak berghibah). Malah kadang-kadang gosip itu muncul dari kerabat dekat orang yang digosipkan itu. Biasanya gosip yang paling tranding topic di desa saya adalah gosip tentang rumah tangga.

Seperti contoh gosip berikut yang akan saya ceritakan. Sebut saja namanya Yu. Gosip yang beredar, Yu adalah istri kedua. Yu dikenal ramah, grapyak, mudah bersosialisasi, meskipun orang baru di desa kami. Karena ramah dan grapyaknya Yu, dia biasa ngobrol dan bercanda dengan bapak-bapak sekitar. Di belakang rumah Yu ada pos ronda yang biasanya digunakan nongkrong oleh orang-orang sekitar, terutama bapak-bapak.

Salah satu yang sering nongkrong di pos itu adalah suami Ibu Sar. Yu sering membuatkan kopi suami Ibu Sar jika nongkrong di pos ronda. Sebenarnya Yu tidak hanya membuatkan kopi suaminya Ibu Sar, tetapi siapapun yang nongkrong sering dibuatkan kopi. Yu juga ramah kepada ibu-ibu, sering berbagi makanan, demikian juga kepada anak-anak sekitar.

Tetapi karena cemburunya, Ibu Sar tidak mau lagi menyapa Yu, bahkan Ibu Sar juga tidak mau bicara dengan suaminya. Hubungan suami istri itu kerap menjadi bahan gosip juga. Bahkan suami Ibu Sar malah sering menjelek-jelekkan istrinya begini, begini. Sedang Ibu Sar sendiri lebih sering menjelek-jelekkan Yu.

Bahkan Yu pernah bercerita, katanya Ibu Sar menaruh kotoran manusia di depan rumah Yu. Entah benar atau tidak cerita itu, tetapi masyarakat desa kami yang mendengar cerita itu pun menyebarkannya kepada tetangga yang lain. Sehingga seluruh orang di desa saya sudah tahu kisah itu, tak peduli benar atau tidak. Antara Yu dan Ibu Sar pun tak tahu kapan mereka akan berbaikan. Tak peduli bagaimana seharusnya masyarakat bisa membantu menyelesaikan konflik, mereka lebih memilih untuk menggunjingkannya, bahkan ada kemungkinan menambah-nambahi cerita.

Seperti halnya gosip di tivi-tivi, pada akhirnya gosip-gosip itu akan menjadi tumpukan-tumpukan gosip, yang silih berganti setiap harinya dengan gosip baru, sedikit orang yang bisa mengambil pelajaran, dan lebih memilih untuk melabeli ataupun mengenang gosip demi gosip yang bermunculan tentang orang lain.

Maka banyak orang memilih jangan sampai mereka kena gosip atau nyinyiran emak-emak, atau jangan-jangan karena sudah biasa digosipkan mereka malah suka jika masuk dalam dunia pergosipan emak-emak karena akhirnya dikenal.

Dunia sosialisasi memang ruwet ya, kadang begini salah, begitu salah, yang diam saja dianggap tidak bisa bersosialisasi, yang suka bergosip malah ditunggu-tunggu, yang menasehati agar jangan bergosip malah dilabeli dan dituduh yang tidak-tidak, yang kena gosip merasa berada dalam konflik, yang sudah biasa digosipkan akhirnya ya sudah, biasa saja. Hidup-hidup gue, kenapa lu yang repot. Duh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun