Selama pandemi, yang masih aman adalah pekerja tani, buruh tani, dan pedagang kecil-kecilan. Sedangkan buruh pabrik dan buruh pasar beberapa terpaksa harus mengalami phk.
Kondisi perekonomian yang demikian mengakibatkan orangtua keberatan untuk membeli handphone. Terlebih lagi ada beberapa dari mereka yang gaptek.
Saya ambil contoh misal siswa saya R. Ibunya yang sebagai buruh pasar terpaksa harus meminjam uang kepada keponakannya yang bekerja di Semarang demi membelikan R handphone karena kepengen (ingin).
Atau misal D, yang juga merengek meminta hp kepada ibunya yang buruh tani. Sehingga ibunya terpaksa meminta tolong kepada saudaranya yang bekerja di Bandung untuk membelikan hp D. Hal ini karena Ayah D tidak jelas entah kemana.
Sekolah sebenarnya tidak pernah mewajibkan siswa untuk memiliki Hp. Bagi siswa yang tidak memiliki Hp, mereka bisa bergabung dengan temannya yang memiliki Hp apabila ada tugas dari guru atau jika akan diadakan kelas virtual.
Melihat kondisi yang demikian, kami para guru mencoba mengadakan kelas virtual menggunakan microsoft office tadi pagi. Siswa yang tidak memiliki handphone bisa bergabung dengan temannya yang memiliki handphone. Sehingga dalam satu perkumpulan kira-kira mereka terdiri dari 3-5 anak. Bersyukurnya, dari tempat tinggal mereka, belum ada tetangga yang terjangkit covid 19. Meski demikian, kami tetap meminta siswa untuk waspada.
Kegiatan yang kami rancang hari ini dari pukul 08.30-10.00 yaitu masing-masing guru memperkenalkan diri sebagai wali kelas mereka, guru dan siswa saling berkomunikasi. Tapi nyatanya dalam pelaksanaannya terjadi problem seperti masalah jaringan dan kondisi guru dan siswa itu sendiri.Â
Kondisi guru dan siswa yang dimaksud adalah banyak guru yang bingung akan berkomunikasi apa dengan siswa. Kemudian ketika guru sudah berkomunikasi dengan lancar, siswa malah tidak menanggapi atau kurang aktif, dan suara siswa juga tidak terlalu terdengar ketika menjawab pertanyaan guru.Â
Karena hanya komunikasi satu arah inilah menyebabkan guru juga kehabisan kata-kata dan bingung akan bicara apalagi. Bahkan beberapa guru pun ada yang memilih saling melempar tanggungjawab kepada guru lain agar bicara. Â Melihat problem yang demikian maka kami menganggap kelas virtual ini kurang efektif.
Lalu, kami para guru pun akhirnya bersepakat untuk mengatur jadwal selama pandemi, yaitu bertatap muka secara langsung kepada siswa dengan mendatangi rumah-rumah mereka. Dimana guru kelas pun kemudian membagi  siswa menjadi 3 kelompok sesuai desa mereka. Sebagai contoh misal siswa kelas 1 yang rumahnya di desa P maka berkumpul di rumah X, kelas 1 yang rumahnya di desa B berkumpul di rumah Y, dan kelas 1 yang rumahnya di desa K berkumpul di rumah Z, demikian untuk kelas 1-6.
Kegiatan tatap muka ini kami laksanakan dengan jadwal bergiliran, misal pukul 08.00-09.00 di desa P, 09.00-10.00 di desa B, dan 10.00-11.00 di desa K. Bagi guru kelas hanya akan masuk 3x dalam satu minggu, sedangkan saya yang guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, akan masuk Senin-Sabtu, dimana Senin kelas 6, Selasa kelas 5, Rabu kelas 4, Kamis kelas 3, Â Jum'at kelas 2, dan Sabtu kelas 1.