Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyikapi Pelaku Pembunuhan (NF), Belajar dari Kasus Mary Bell

11 Maret 2020   22:23 Diperbarui: 11 Maret 2020   22:32 2219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

NF dari luar seakan baik-baik saja, seakan dia seperti remaja lainnya yang bersekolah, dengan keluarga yang lengkap meski bukan dengan ibu kandung, orangtuanya yang sama-sama bekerja sehingga ia tak perlu ikut bekerja, dan ia punya kebebasan untuk mengeksplor dirinya melalui film, kegiatan sekolah, dan menggambar.

Itu terlihat dari luar. Seperti tidak terjadi apa-apa, kehidupannya sama dengan orang lain. Bahkan ia pun juga tidak pernah menyulitkan siapapun, termasuk orangtua dan tetangganya seperti melakukan tindakan kriminal. Tetangganya mengenal ia sebagai anak rumahan yang jarang keluar rumah. Seakan-akan NF tidak ada masalah apa-apa.

Tapi itu terlihat dari luar. Tidak dengan pikirannya. Tidak dengan jiwanya.

Jiwanya kosong, merindukan kasih sayang, sepi, bahkan ia merasa tidak memiliki siapa-siapa. Hal itu bisa tersirat dari curhatannya bagaimana ia menggambarkan perasaannya.

Ya, ayahnya memang ada, ibu tirinya ada, adiknya ada, tapi mereka dengan dunianya masing-masing. Mungkin hanya ada sedikit percakapan di rumah itu. 

Percakapan yang sebenarnya hanya basa-basi seperti ibu yang menyuruh anaknya makan, ibu yang menyuruh anaknya mandi, ayah yang memberi uang jajan anaknya. Percakapan yang tidak dari hati ke hati.

NF sebagai seorang yang introvert sulit untuk mengungkapkan perasaannya kepada orang-orang terdekatnya. Tetapi pikirannya bergemuruh. Ia ingin dicintai, ia ingin disayangi, ia ingin ada orang yang mengapresiasi prestasinya, ada orang yang memuji dan mendorong bakat-bakatnya. Sayangnya, ia sulit mengungkapkan perasaan itu.

Hobbynya yang menonton, khususnya film horror, memberikan kenyaman tersendiri baginya. Imajinasinya pun ikut terasah, ia tidak mengenal takut, bahkan ia tidak takut pada siapapun. Ia merasa bebas melakukan apapun.

Aksi pembunuhannya mungkin adalah sebuah pelampiasan dari imajinasinya yang terus bergerak, bercampur dengan perasaan-perasaan kecewa dan marahnya. Tontonannya pun akhirnya menuntunnya untuk mendapatkan kesenangan melalui aksinya. Maka, setelah aksinya tersebut terealisasi ia merasa puas.

Menurut saya, bukan label psikopat, atau pembunuh, dan kawan-kawannya yang perlu didiskusikan untuk menyelesaikan masalah ini. Tetapi masa depan NF. NF memang pelaku pembunuhan, tetapi ia juga korban. Korban dari kejamnya kehidupan. Mengapa tidak ada orang yang mencintai aku? Begitulah perasaan yang dimunculkan jiwanya, yang akhirnya mempengaruhi daya berfikirnya.

Maka apa yang harus kita lakukan? stop melabeli dan menghakiminya. Itu tidak akan membantu menyelesaikan konfliknya. Yang perlu dilakukan adalah mengubah pikiran-pikirannya tersebut, cintai dia, bebaskan dia dari kejahatan imajinasinya, bantu dia untuk merasakan cinta dari orang-orang sekelilingnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun