Tulisan ini terinspirasi dari dua kejadian. Kejadian pertama, kemarin, orang yang baru saya kenal, sebut saja Ibu Ani, bercerita tentang kehidupannya. Entah ada motif apa sehingga Ibu Ani menceritakan kehidupannya pada saya. Saya hanya berpositive thinking saja, mungkin ibu Ani membutuhkan teman ngobrol. Berikut cerita Ibu Ani.
Saya sudah 8 kali gagal ikut CPNS mbak. Sekarang adalah kesempatan terakhir bagi saya. Rasanya saya sudah bosan ikut CPNS itu. Tapi, ya mumpung masih ada kesempatan, saya ikuti saja.
Kejadian kedua terinspirasi dari cerita teman saya, sebut saja namanya Ina. Ina kuliah jurusan Kesehatan Masyarakat (Kesmas). Tetapi setelah kuliah, dia memilih bekerja di sebuah perusahaan sebagai penulis content media sosial dan design. Ina bercerita kepadaku, katanya dia merasa gagal setelah dua tahun bekerja di perusahaan tersebut, dia merasa keahliannya baru setengah-setengah. Dia menyesal, kenapa dulu dia tidak mengambil jurusan Dekave waktu kuliah. Tetapi, menurut saya pribadi, Ina tidak gagal, dia melangkah lebih maju ke depan, menemukan bakatnya yang lain, meskipun tidak sesuai bidang kuliahnya.
Dari dua kejadian tersebut, kisah Ibu Ani dan teman saya Ina, kerap terjadi di sekeliling kita, merasa gagal, sampai mereka lupa bahwa mereka pernah berjuang, meski gagal.
Tentang kegagalan dan keberhasilan, apakah keberhasilan hanya di ukur melalui dunia karir? Ketika kita lolos CPNS di usia 25 tahun, misalnya, lalu kita menganggap kita berhasil? Mungkin sebagian orang memandang seperti itu, sehingga mereka lupa bahwa dulu kita pernah berhasil juga meski bukan dalam bidang karir.
Contoh sederhananya adalah, di usia satu tahunan kita berhasil berjalan dengan lancar, bahkan berlari, bahkan meski kita jatuh, kita masih bisa berdiri. Dan lihat, siapa orang yang sangat bangga saat kita mampu berdiri lagi ketika kita jatuh itu? Orang tua. Mereka tertawa, bahkan memuji kita,
Anak ibu hebat.
Lalu, andaikata kita dulu pernah menjadi juara kelas, bahkan contoh kecil saja, kita mendapat nilai 100 dalam ujian matematika, bukankah kita juga sudah berhasil menyelesaikan ujian. Guru-guru memuji kita, orang tua membangga-banggakan kita, bahkan tetangga kita pun ikut mengapresiasi kita.
Kemudian ketika kita kuliah, kita berhasil menyelesaikan sidang Skripsi, tampak wajah kedua orang tua kita berbinar-binar mendapatkan undangan wisuda anaknya. Mereka bahkan mulai menuai harapan bahwa kita akan segera mendapatkan pekerjaan. Serasa lepas beban di pundak kedua orang tua kita.
Mungkin di antara kita, sudah pernah mendapatkan pekerjaan pertama. Tentu hari itu kita merasa bahagia, dan bangga. Kita berhasil melewati tes-tes yang diadakan perusahaan tempat kita diterima kerja.Â
Hidup kita tidak akan pernah berhenti meskipun kesuksesan-kesuksesan itu pernah kita alami. Hidup kita tetap terus bergerak ke depan. Meninggalkan hal-hal yang telah lalu. Hingga saat ini, hingga saat dimana kita merasa gagal. Mungkin sekarang kita merasa khawatir dengan masa depan. Gaji yang tidak naik-naik.
Tabungan yang tidak bertambah, malah berkurang. Keinginan segera menikah yang belum tercapai. Keinginan membahagiakan kedua orang tua yang belum merasa dilakukan. Keinginan memiliki rumah yang terasa seperti kemustahilan. Hidup kita hanya dipenuhi beban-benan kekhawatiran, hingga kita setress. Bahkan ingin rasanya kita mati saja. Lelah menjalani hidup.
Saat kegagalan itu merasa menghantui kita, bahkan membuat kita berada di titik terendah kehidupan. Yang harus kita ingat adalah, kita masih memiliki Tuhan, pengatur kehidupan. Kalau Tuhan mengijinkan kita sukses dengan memiliki gaji bermiliar-miliar, menikah di usia 25an, memiliki rumah di usia 30an, bisa membuat kedua orang tua bangga setiap hari, tentu itu mudah bagi Tuhan.
Tapi bukan itu yang diinginkan Tuhan, Tuhan ingin melihat seberapa kuat kita menjalani takdir hidup yang telah digariskannya. Kekuatan kita inilah kesuksesan yang sebenarnya. Meski di luar sana banyak orang mencemooh kita karena pekerjaan yang tidak tetap atau bahkan pengangguran, dengan kondisi menjomblo bertahun-tahun, dengan kondisi rumah masih ngontrak, bahkan ngekost, atau bahkan numpang dengan orang tua.
Yang perlu kita lakukan adalah,
Tetap tidak berhenti berusaha. Tetap berusaha produktif setiap waktu. Mempelajari sesuatu yang baru, mensyukuri segala keadaan baik bahagia maupun susah, berolahraga untuk menjaga kondisi tubuh agar tetap fit, dan tidak lupa berdoa mengharap yang terbaik dari Allah di setiap kehidupan.
Terkadang kita terlalu mengkhawatirkan hidup kita, hingga kita lupa bisa saja satu detik kemudian kita sudah tidak bernafas lagi. Menurut Jurnal Psikologi,
93 persen dari kekhawatiran kita, tidak terbukti. Hanya 7 persen dari keseluruhannya yang biasanya akan menjadi kenyataan. Dan rata-rata mereka mengakui bahwa ternyata tidak sedahsyat seperti saat mereka membayangkannya.
Tentu saja buka berarti kita bisa mengatakan, "Jangan khawatir lagi" karena memang tidak sesederhana itu. Tetapi setidaknya kita memiliki kesempatan untuk melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat daripada mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu terjadi.
Tentang karir, setiap orang memiliki jalan hidup masing-masing. Ada yang berusia 25 tahun sudah merasa mapan, ada yang usia 30 tahun merasa mapan, ada yang usia 50 tahun baru mapan, bahkan ada yang berusia 60 tahun merasa hidupnya selama ini tidak menakutkan seperti hanya jika kita membayangkan saja. Usia tidak bisa menjadi patokan bahwa kita akan sukses di usia sekian, atau kita akan menikah di usia sekian.
Ada video yang bermanfaat untuk menjadi motivasi kita, bahwa dalam hidup ini kita tidak perlu iri pada siapapun hanya karena orang lain lebih dulu sukses dibanding kita. Kita semua punya hak untuk sukses, dan punya hak juga untuk gagal. Bahkan kita punya hak untuk bersyukur setiap hari atas apapun yang kita lakukan, tanda bahwa kita menikmati hidup yang kadang berbuah keberhasilan, kadang berbuah kegagalan.
Berikut cuplikan video tersebut,
Saya kenal orang yang lulus di usia 21 tahun, tapi tidak mendapat pekerjaan sampai usia 27 tahun. Saya kenal orang yang telat lulus usia 25 tahun, tapi langsung mendapat pekerjaan. Saya kenal orang yang tidak pernah kuliah, tapi telah menemukan passion mereka di usia 18 tahun. Saya kenal orang yang setelah lulus kuliah, langsung mendapat pekerjaan, tapi membenci pekerjaan mereka. Saya kenal orang yang tidak langsung kuliah, tapi menemukan tujuan hidup mereka. Saya kenal orang yang sangat yakin tentang apa yang akan mereka kerjakan saat usia 16 tahun, tapi berubah pikiran saat berusia 26 tahun. Saya kenal orang yang punya anak tapi tidak punya pasangan. Saya kenal orang yang menikah tapi harus menunggu 8-10 tahun untuk memiliki anak. Saya kenal orang yang terikat dalam suatu hubungan tapi mencintai orang lain. Saya kenal orang yang saling mencintai tapi tidak bersama-sama.
 Maksud saya adalah segala sesuatu dalam hidup terjadi sesuai waktu kita, jam kita. Kamu mungkin melihat temanmu yang menurutmu lebih baik darimu, atau temanmu yang kondisinya lebih buruk darimu. Tapi segalanya terjadi sesuai kecepatannya masing-masing. Mereka semua punya waktu dan jam sendiri, begitu juga dengan kamu. Bersabarlah.Â
Saat usia 25 tahun, Marc Cuban menjadi pelayan bar di Dallas. J.K Rowling harus menunggu sampai berusia 32 tahun untuk menerbitkan Harry Potter setelah ditolak oleh 12 penerbit. Ortega meluncurkan Zara saat dia berusia 39 tahun. Jack Ma memulai Alibaba saat dia berusia 35 tahun. Morgan Freeman mendapatkan peran yang besar saat berusia 52 tahun. Steve Carell baru mendapatkan perannya setelah berusia 40 tahun. Virgin yang dirintis oleh Richard Branson saat usia 34 tahun.Â
Mendapatkan gelar setelah berusia 25 tahun masih merupakan sebuah prestasi. Belum menikah di usia 30 tahun tapi tetap bahagia itu indah. Membangun keluarga setelah usia 35 tahun masih memungkinkan. Membeli rumah setelah 40 tahun tetaplah hebat. Jangan biarkan orang lain membuatmu terburu-buru sesuai dengan waktu mereka. Karena seperti yang Einstein katakan, tidak semua yang diperhitungkan dapat dihitung. Dan tidak semua yang bisa dihitung, bisa diperhitungkan. Dan ini merupakan hal yang paling penting. Saya ingin kalian menciptakan hidup yang bermakna, bertujuan, dan memberikan kebahagiaan bagi dirimu. Dan belajar cara menggunakannya untuk memberikan pengaruh dan perbedaan buat hidup orang lain. Itulah yang disebut sukses sejati.
Hidup ini kadang tidak seperti yang dibayangkan. Apa yang kita lihat indah, belum tentu seindah yang dibayangkan. Sebagai bahan pelajaran, hidup kadang juga seperti cerita dalam postingan ini.
Akan ada saat dimana kita mensyukuri segala kehidupan yang diberikan Tuhan, tanpa harus menuntut atau menggurui Tuhan, Tuhan tau yang terbaik untuk kita. Tetap hadapi apapun yang terjadi, buktikan pada diri kita sendiri bahwa kita memiliki mental kuat untuk gagal, bangkit lagi, gagal lagi, bangkit lagi, hingga kita merasa sukses menjalani kehidupan yang ditakdirkan Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H