"Cara mbak bawa tas ini benar, di depan. Jangan dibelakang. Nanti kena copet."
Dia bahkan lebih cerdas daripada para ibu-ibu yang sering menggunakan gelang, kalung di bus. Saya sering melihat ibu-ibu semacam ini. Dengan sepatu berhak tinggi, bagaimana dia bisa mengejar penjambret andai dia dijambret.
Dia pun bercerita bagaimana kisahnya meniti karier sejak tahun 1998 hingga sekarang menjadi sopir angkot. Dengan bangga dia mengatakan,
"Saya ini sudah 25 tahun hidup di jalanan mbak. Sejak aksi bakar-bakaran di Solo. Pergantian zaman dari Orde Baru menuju Reformasi."
Bayangkan, dia bahkan lebih ahli mengingat masa itu, dibanding sarjana yang hanya suka selfie, main posting foto, like instagram, like facebook, ngetweet.
Dia pun bercerita tentang keluarga, putranya yang remaja kelas 2 SMK, dan putra satunya baru masuk SMP. Dia bercerita pendapatan yang kadang tidak seberapa harus disetorkan. Tapi dia tetap optimis hari demi hari dengan rutinitas yang sama bisa menyekolahkan anak-anaknya.
Bayangkan, betapa kalahnya para pejabat yang korupsi-korupsi itu dengan bapak ini. Bagaimana bisa para pejabat dengan gaji tinggi itu melakukan tindak korupsi, sedangkan bapak sopir bus yang pendapatannya tidak pasti ini sangat optimis setiap harinya, melihat anak-anaknya menjadi orang yang berpendidikan.
Kemarin sore, sungguh hari berharga bagiku, belajar dari sopir angkot yang sedang mogok angkotnya, dengan pakaian berlumuran oli, duduk santai sambil merokok, sesekali melirik handphone jadulnya melihat jam.