Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Sopir Angkot

3 November 2019   09:36 Diperbarui: 3 November 2019   10:39 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kompas.com

Jalanan daerah shobron, begitu aku menyebutnya. Shobron, sebuah pondok milik UMS. Meski sebenarnya orang-orang sekitar lebih mengenal daerah makam haji, atau daerah underpass, atau daerah proyek.

Kemarin sore, aku terlambat mendapatkan angkot terakhir ke arah Sukoharjo. Tampak seorang sopir angkot sedang duduk di sebelah angkotnya yang mogok. Duduk lesehan sambil merokok.

Aku bertanya pada bapak itu bus arah Sukoharjo. Dia mengatakan,

"tunggu sini saja mbak, atau tunggu di alfamart sana, nanti saya panggil. Nanti Koridor (biasa aku menyebutnya BST dari kata Bus Solo Trans) lewat. Nanti masih ke arah Kartasura. Baru balik sini jam 17.11. Ini baru jam 16.20."

Menarik. Bapak itu begitu tepat menyebutkan pergantian jam dibanding siapapun yang biasa menyebut jam 17.11 sebagai jam lima lebih. Atau jam 16.20 sebagai jam tengah lima kurang.

Bahkan bapak itu lebih pandai menyebutnya dibanding mahasiswa yang sering terlambat masuk ruangan. Misal masuk kelas seharusnya pukul 8.40 tetapi ada mahasiswa yang masuk pukul 8.55. Mahasiswa itu setiap ditanya terlambat berapa menit, dia sendiri bingung menghitung menit. Dia sendiri lupa sama waktunya sendiri.

Aku memilih ke alfamart sebentar, lalu kembali duduk berjongkok dengan jarak tiga langkah dari bapaknya.

Bapak itu lalu mengajak ngobrol dari hal-hal yang tak ku pahami. Dia dengan sangat lancar bercerita angkot-angkot ini milik perusahaan mana saja, dari Nusa, Damar, Atmo, BST, Wahyu, Wahyu Putra. Dan jelas aku tidak hafal setelah dikasih tau bapaknya. Pun tidak begitu mengingat materi-materi itu.

Tapi aku yakin, andai ujian dengan materi-materi itu, bapak ini akan lulus dengan nilai 100 dibanding mahasiswa yang hobbi bergelut di perpustakaan.

Bapak itu lalu menceritakan pengalamannya yang sudah 25 tahun hidup dijalanan. Dia mengatakan bahwa dia sudah hafal mana penumpang dan mana pencopet. Bisa saja para polisi bisa kalah dalam urusan ini dengan bapak sopir angkot itu. Dalam hal membedakan mana pencopet dan mana yang bukan.

Bapak itu pun langsung mengajariku, cara membawa tas, dia menilai caraku sudah benar.

"Cara mbak bawa tas ini benar, di depan. Jangan dibelakang. Nanti kena copet."

Dia bahkan lebih cerdas daripada para ibu-ibu yang sering menggunakan gelang, kalung di bus. Saya sering melihat ibu-ibu semacam ini. Dengan sepatu berhak tinggi, bagaimana dia bisa mengejar penjambret andai dia dijambret.

Dia pun bercerita bagaimana kisahnya meniti karier sejak tahun 1998 hingga sekarang menjadi sopir angkot. Dengan bangga dia mengatakan,

"Saya ini sudah 25 tahun hidup di jalanan mbak. Sejak aksi bakar-bakaran di Solo. Pergantian zaman dari Orde Baru menuju Reformasi."

Bayangkan, dia bahkan lebih ahli mengingat masa itu, dibanding sarjana yang hanya suka selfie, main posting foto, like instagram, like facebook, ngetweet.

Dia pun bercerita tentang keluarga, putranya yang remaja kelas 2 SMK, dan putra satunya baru masuk SMP. Dia bercerita pendapatan yang kadang tidak seberapa harus disetorkan. Tapi dia tetap optimis hari demi hari dengan rutinitas yang sama bisa menyekolahkan anak-anaknya.

Bayangkan, betapa kalahnya para pejabat yang korupsi-korupsi itu dengan bapak ini. Bagaimana bisa para pejabat dengan gaji tinggi itu melakukan tindak korupsi, sedangkan bapak sopir bus yang pendapatannya tidak pasti ini sangat optimis setiap harinya, melihat anak-anaknya menjadi orang yang berpendidikan.

Kemarin sore, sungguh hari berharga bagiku, belajar dari sopir angkot yang sedang mogok angkotnya, dengan pakaian berlumuran oli, duduk santai sambil merokok, sesekali melirik handphone jadulnya melihat jam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun