Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Mahasiswa Terpapar Radikalisme

20 Oktober 2019   09:13 Diperbarui: 20 Oktober 2019   10:04 2377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena menurut mereka demokrasi adalah buatan Barat, segala hal yang berkaitan dengan Barat adalah haram, demikian pula UUD 1945 peninggalan Belanda.



Mereka juga menganggap media selain yang bernamakan Islam adalah buruk. Hal ini penulis rasakan sendiri ketika masih kuliah, penulis membaca majalah tempo, kemudian salah satu teman yang aktif di organisasi LDK mengomentari, "kok bacaannya tempo, bacanya itu yang islami-islami, kayak Islampos gitu."

Radikalisme di kalangan mahasiswa semakin menguat terutama melalui media sosial. Seperti yang dikatakan Ines von Behr, dkk dalam bukunya "Radicalisation in the Digital Era: the Use of the Internet in 15 Cases of Terrorism and Extremism" (2013, p. 17),

A handful of studies suggest that the internet has broken down some of the barriers that exist in the physical world for certain groups of people to become involved in extremism. 

This has been particularly highlighted in the case of women in relation to jihadism. Ome authors suggest that shy individuals can benefit from the access that the internet gives them to radicalisation.

[Beberapa penelitian menunjukkan bahwa internet telah meruntuhkan beberapa hambatan yang ada di dunia fisik untuk kelompok orang tertentu untuk menjadi ekstremisme. 

Hal ini sangat disorot dalam kasus perempuan dalam hubungannya dengan jihadisme. Beberapa penulis berpendapat bahwa individu pemalu dapat memperoleh manfaat dari akses yang diberikan internet kepada mereka untuk radikalisasi].

Dilansir dari tirto.id Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sudah melakukan pemblokiran konten terkait radikalisme-terorisme dalam 10 tahun terakhir berjumlah lebih dari 10ribu konten. Jumlah tersebut berdasarkan temuan Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika Ditjen Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo dari tahun 2009 sampai dengan 2019. 

Meski sudah dilakukan penutupan terhadap konten radikalisme, terorisme, dan separatisme, Plt Kepala Biro Humas Kominfo Ferdinandus Setu mengatakan bahwa Kementerian Kominfo terus melakukan pencarian konten dalam situs web atau platform dengan menggunakan mesin AIS setiap dua jam sekali. Ferdinandus mengimbau masyarakat untuk menghindari penyebaran konten yang radikalisme, terorisme, dan separatisme.

Radikalisme di kampus memberikan dampak negatif dan mengancam Indonesia ke depannya. Salah satu dampak yang rentan yaitu apabila mahasiswa telah terpapar radikal, maka ia akan menjadi pribadi yang tertutup dengan masyarakat dan cenderung membid'ahkan hal-hal yang dianggap berbeda. 

Dampak lain yaitu, apabila mahasiswa telah lulus, kemudian dia mengabdi di masyarakat, contoh menjadi seorang guru, maka doktrin pemikirannya dapat dengan mudah ia lahirkan ke siswa-siswanya sehingga siswa-siswanya bisa jadi membenci penguasa, demokrasi, pancasila, bahkan Indonesia itu sendiri. 

Nilai-nilai Indonesia yang santun, ramah, menghargai perbedaan, dan cinta damai bisa luntur karena doktrin-doktrin kebencian. Guru yang seharusnya bisa menjadi cerminan peserta didik, malah menjadi provokasi memecah belah bangsa. Hal ini penting untuk diperhatikan.

Oleh sebab itu, maka sebaiknya dosen-dosen di kampus lebih memperhatikan  ideologi unit kegiatan mahasiswa beserta mahasiswa-mahasiswanya. Sebagai dosen, sebaiknya bisa memberi contoh menunjukkan rasa cinta Indonesia melalui sikap menghargai perbedaan dan mencintai perdamaian. Bukan menjadi dosen yang memprovokasi mahasiswanya.

Sebagai penutup, mengutip kata mutiara dari Abu Thalib tentang hakikat pendidikan,

Karakter asli kemanusiaan terbentuk melalui belajar. Sebelum melakukan interaksi dengan lingkungannya melalui proses belajar, manusia hanya sebongkah daging, tulang, dan komponen tubuh yang kosong. Setelah bersentuhan dengan proses belajar, secara perlahan tapi pasti, terbentuklah kepribadian pendidikan. Pesan dan informasi yang diterimanya membentuk jati dirinya yang sebenarnya. Ia mulai menafsirkan pesan dan informasi yang masuk ke pendengarannya. Bahkan, pada tahap selanjutnya, ia menyampaikan pula pesan yang diterimanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun