Mohon tunggu...
Lipur_Sarie
Lipur_Sarie Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangga yang mencintai alam

Indonesia adalah potongan surga yang dikirimkan Sang Pencipta untuk rakyatnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mangkunegaran adalah Literasi dan Arsip dari Waktu ke Waktu

1 April 2023   10:51 Diperbarui: 16 Mei 2023   12:31 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mangkunegaran adalah satu dari empat pecahan Kerajaan Mataram Islam yang istananya berlokasi di kecamatan Banjarsari Surakarta, Jawa Tengah. Dikutip dari buku Sejarah Milik Praja Mangkunegaran terjemahan dari Geschiedenis Der Eigendommen Van Het Mangkoenegorosche Rijk oleh Dr. S Mansteld diterjemahkan oleh R. Tg. Muhammad Husodo Pringgokusumo Kepala " Rekso Pustoko" Perpustakaan Istana Mangkunegaran, 1986 menyebutkan bahwa sejarah berdirinya Mangkunegaran berawal dari konflik perebutan takhta di antara para pewaris Mataram. Sejak penguasa Mataram mulai bekerjasama dengan VOC, pemberontakan dari keluarga kerajaan ataupun pihak luar semakin sering terjadi. Salah satu yang terkenal adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwono II) dan Mangkubumi. Raden Mas Said adalah putra Pengeran Mangkunegara sekaligus cucu Amangkurat IV.

Menurut sumber-sumber dari Mangkunegaran, Pangeran Mangkunegara adalah putra tertua Amangkurat IV yang sebenarnya berhak menggantikan posisi ayahnya sebagai raja. Namun, dalam kenyataannya justru Pakubuwono II yang naik takhta. Sedangkan Pangeran Mangkunegara diasingkan ke Sri Lanka karena tidak disenangi Belanda. VOC beberapa kali mengajukan perundingan kepada Raden Mas Said dan Mangkubumi, tetapi ditolak. Bahkan ketika Mangkubumi bersedia mengadakan perundingan, Raden Mas Said tetap tidak mau kompromi dengan Belanda karena yakin akan kekuatan pasukannya.

Pemberontakan Mangkubumi resmi diakhiri ketika Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13 Februari 1755, yang isinya membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Nagari Kasultanan Ngayogyakarta dan Nagari Kasunanan Surakarta. Kasultanan Ngayogyakarta diberikan kepada Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I, sementara Kasunanan Surakarrta menjadi hak Pakubuwono III.

Perjanjian Salatiga

Raden Mas Said, yang tidak terlibat dalam Perjanjian Giyanti dan merasa belum mendapatkan haknya, semakin gencar melakukan perlawanan terhadap Hamengkubuwono I, Pakubuwono III, dan VOC. Di saat yang sama, VOC terus menawarkan solusi dengan jalan perundingan, yang akhirnya diterima oleh Raden Mas Said. Pihak-pihak terkait kemudian berkumpul di Salatiga, Jawa Tengah, pada 17 Maret 1757 untuk menyepakati perjanjian.

Dalam perjanjian itu, Raden Mas Said diakui sebagai pangeran merdeka dengan wilayah otonom berstatus kadipaten yang disebut Praja Mangkunegaran. Perjanjian Salatiga menandai berdirinya Mangkunegaran. Mangkunegaran merupakan kadipaten yang posisinya dibawah kasunanan dan kasultanan, sehingga penguasanya tidak berhak menyandang gelar Sunan ataupun Sultan. Gelar para Mangkunegara yang memegang pemerintahan di Mangkunegaran adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA). Raden Mas Said kemudian dinobatkan sebagai pendiri sekaligus penguasa pertama Mangkunegaran yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, lengkapnya
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara Senopati Ing Ayudha Sudibyaningprang.
Wilayah Kekuasaaan

Setelah sekian abad menjadi Kerajaan otonom, pada September 1946 Mangkunegara VIII menyatakan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun meletusnya revolusi sosial di Surakarta pada tahun 1945-1946, telah mengakibatkan Mangkunegaran kehilangan kedaulatannya. Walaupun demikian Mangkunegara dan Puro Mangkunegaran masih tetap menjalankan fungsinya sebagai penjaga budaya.

Sedangkan wilayahnya mencakup bagian utara Kota Surakarta, yakni Kecamatan Banjarsari, kemudian seluruh Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonogiri, dan sebagian wilayah Kecamatan Ngawen serta Semin di Gunung Kidul, Yogyakarta. Secara keseluruhan, wilayah kekuasaan Mangkunegaran hampir mencapai 50 % wilayah kekuasaan Kasunanan.
Mulai tahun 1950 statusnya hanya keraton dengan raja tanpa kekuasaan politik.

Arsitektur

            Komplek bangunan Pura Mangkunegaran memiliki bagian-bagian yang menyerupai keraton seperti memiliki pamdan, pendapa, pringgitan, dalem, dan keputren. Seluruh kompleks dikelilingi oleh tembok, hanya bagian pemdan yang diberi pagar besi dan
dibangun dengan menggunakan gaya arsitektur Jawa Eropa, dalam hal ini Perancis.

            Penggunaan arsitektur Eropa Perancis dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, adanya gable (struktur atap yang tersusun dari dua bidang atap yang saling berlawanan arah) dan dormer (jendela atau lubang angin yang ditambatkan pada bagian atap) pada seluruh bangunan Pura Mangkunegaran.

Kedua, penggunaan susunan atap bersegi banyak pada bagian sayap Pringgitan dan Pracimayasa. Ketiga, penggunaan tiang besi bergaya kolonial sebagai penahan tambahan bagi atap emperan di semua bagian Pura Mangkunegaran.

Keempat, penggunaan ornamen hias yang cenderung ditemukan di gedung-gedung berarsitektur Eropa seperti relief malaikat, kaca patri, lampu gantung, dan hiasan-hiasan bergaya Eropa.

Kelima, orientasi bangunan utama yang menghadap ke halaman yang luas serta orientasi bangunan penunjang yang menghadap ke bangunan utama dengan tujuan agar raja bisa mengawasi langsung bagaimana abdi dalemnya bekerja.

Sedangkan arsitekur Jawa pada Pura Mangkunegaran dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, penggunaan ornamen-ornamen arsitektur Jawa, seperti bentuk atap, tiang saka, dan ragam hias Jawa

Kedua, penggunaan konsep aling-aling yang berfungsi sebagai perintang agar orang luar tidak bisa melihat bagian dalam Pura Mangkunegaran secara langsung.

Ketiga, penggunaan kosmologi Jawa dalam fisik Pura Mangkunegaran. Posisi bangunan utama Pura Mangkunegaran di bagian inti menggambarkan posisinya sebagai pusat dari mandala. Bangunan Pura Mangkunegaran yang menghadap ke selatan, arah yang diasosiasikan dengan Kanjeng Ratu Kidul sebagai penguasa laut selatan, melambangkan hubungan istana dengan entitas gaib. Hubungan ini memliki dua fungsi, yaitu sebagai bentuk legitimasi politik dan meminta perlindungan non-fisik.

Keempat, pembagian ruang dalam Pura Mangkunegaran yang berdasarkan arsitektur Jawa. Dalam arsitektur Jawa, pembagian ruangan sebuah rumah dibagi berdasarkan tingkat privasi. Semakin dalam sebuah ruang maka semakin tinggi privasinya.

Pembagian ruang pada Pura Mangkunegaran dibagi menjadi tiga, yaitu: Pendhapa Ageng dan bangunan kantor yang dapat dikunjungi masyarakat umum, kemudian ada Pringgitan yang hanya dapat dikunjungi oleh tamu, dan Ndalem Ageng yang hanya dapat dimasuki oleh keluarga Mangkunegara dan abdi dalem.

Bagian Bangunan

            Setelah pintu gerbang utama akan tampak pamedan, yaitu lapangan perlatihan prajurit pasukan Mangkunegaran yang bernama Legiun Mangkunearan. Di sebelah timur pamedan terdapat markas pasukan infantri dan kavaleri eks-Legiun Mangkunegaran yang memiliki semacam bangunan benteng.

            Pintu gerbang kedua menuju halaman dalam tempat berdirinya Pendopo Ageng yang dapat menampung lima sampai sepuluh ribu orang dan  dianggap pendopo yang terbesar di Indonesia. Tiang-tiang kayu berbentuk persegi yang menyangga atap joglo diambil dari pepohonan yang tumbuh di Alas Kethu, hutan yang dahulu dimiliki Mangkunagaran, di perbukitan Wonogiri. Seluruh bangunan ini didirikan tanpa menggunakan paku. Di dalam pendopo terdapat gamelan-gamelan pusaka, antara lain gamelan Kyai Seton, gamelan Kyai Kanyut Mesem, dan gamelan Lipur Sari, yang masing-masing hanya dimainkan hanya pada peristiwa atau perayaan tertentu saja.

            Tempat di belakang pendopo terdapat sebuah beranda terbuka, yang bernama Pringgitan, yang mempunyai tangga menuju Ndalem Ageng, sebuah ruangan seluas 1.000 M2, yang secara tradisional merupakan ruang tidur pengantin kerajaan, namun sekarang berfungsi sebagai museum.

            Di belakang Ndalem Ageng, terdapat tempat kediaman keluarga Mangkunagaran sekarang digunakan oleh para keluarga keturunan pangeran adipati. Di tempat ini terdapat taman yang ditumbuhi pohon-pohon dan tanaman hias yang berisi patung-patung klasik bergaya Eropa, serta kolam air mancur.

Literasi

Elizabeth Sulzby "1986" berpendapat bahwa literasi adalah kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi "membaca, berbicara, menyimak dan menulis" dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya. Jika didefinisikan secara singkat, definisi literasi yaitu kemampuan menulis dan membaca.

Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbudristek), ada 6 jenis literasi. Yaitu : 1. Literasi Bahasa Tulis adalah kecakapan untuk memahami isi teks tertulis baik yang tersirat maupun tersurat untuk mengembangkan pengetahuan dan potensi diri. 2. Literasi Numerasi adalah  kecakapan menggunakan berbagai macam angka dan simbol-simbol yang terkait dengan matematika dasar untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari. 3. Literasi Sains adalah kecakapan untuk memahami fenomena alam dan social di sekitar kita serta mengambil keputusan yang tepat secara ilmiah 4. Literasi Digital  kecakapan menggunakan media digital dengan beretika unntuk memperoleh informasi dan berkomunikasi  5. Literasi Finansial kecakapan untuk mengaplikasikan pemahaman tentang konsep, resiko, ketrampilan dan motivasi dalam konteks finansial 6. Literasi Budaya dan Kewargaan adalah kecakapan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa serta memahami hak dan kewajiban sebagai warganegara.

Untuk mendukung literasi bahasa tulis, di Mangkunengaran ada perpustakaan yang  terletak dilantai dua, diatas Kantor Dinas Urusan Istana dan di sebelah timur pamedan bernama Rekso Pustoko. Perpustakaan Rekso Pustoko didirikan pada tanggal 11 Agustus 1867 di masa pemerintahan KGPAA Mangkunegoro IV. Nama Rekso Pustoko berasal dari kata Rekso yang berarti penjagaan, pengamanan, dan pemeliharaan sedangkan Pustoko berarti tulisan, surat-surat, dan buku.

Awalnya sebagian besar koleksi Rekso Pustoko terdiri atas buku beraksara Jawa, berupa naskah asli, turunan, maupun cetakan. Namun pada masa Mangkunegara VII koleksi Rekso Pustoko semakin bertambah, baik berbahasa Jawa, maupun berbahasa asing terutama bahasa Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman. Beliau menyadari pentingnya kebiasaan membaca bagi perkembangan seseorang agar berwawasan luas. Rekso Pustoko merupakan perpustakaan yang terbuka bagi para pegawai Mangkunegaran, sedang yang tinggal di kompleks Puro Mangkunegaran disediakan Panti Pustoko.

Sejak tahun 1980, Rekso Pustoko dibuka untuk masyarakat umum. Koleksi perpustakaan diantaranya buku, naskah kuno dan foto. Saat ini, jumlah keseluruhan koleksi naskah dan buku kurang lebih 6000 judul. Naskah tertua yang dimiliki Rekso Pustoko adalah Serat Menak berasal dari Bali berbahasa Jawa, berhuruf Jawa, dan ditulis di atas lontar. Koleksi yang terkenal adalah karya luhur dari Mangkunegara IV yakni Serat Wedhotomo, Serat Tripomo, Serat Woroyagyo, dan Serat Laksita Raja.

Arsip

Mangkunegaran merupakan salah satu pusat pemerintahan di Surakarta. Sebagai suatu sistem pemerintahan yang berkembang dari masa ke masa, Mangkunegaran memiliki beberapa arsip yang layak untuk diteliti dan dimanfaatkan dalam ranah ilmu pengetahuan. Sistem waris yang masih dianut secara tetap menjadikan raja di Mangkunegaran masih memiliki hubungan darah satu sama lain, sehingga tak menutup kemungkinan melakukan perbandingan pembuatan kebijakan di zaman yang berbeda melalui studi ilmu kearsipan.

Gb. 2 Para Arsiparis dan Pura Mangkunegaran dari sisi timur (foto: Dwi Santosa)
Gb. 2 Para Arsiparis dan Pura Mangkunegaran dari sisi timur (foto: Dwi Santosa)

Arsip yang tersimpan di Reksa Pustaka berasal dari dokumen-dokumen pemerintahan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegaran IV -- VIII. Ada berbagai jenis arsip yang tersimpan di sana. Arsip-arsip tersebut termasuk dalam arsip statis karena pada saat ini sudah tidak digunakan lagi. Misalnya arsip masa Mangkunegaran V sudah tidak digunakan lagi secara aktif pada masa Mangkunegaran VI. Namun arsip tersebut sekedar digunakan sebagai referensi di masa-masa selanjutnya.

Jenis-jenis arsip yang tersimpan disana antara lain : 1. Tekstual, yaitu jenis arsip yang tertulis dalam lembaran. Contohnya: arsip tentang olahraga dan arsip tentang pemberantasan penyakit. 2. Peta, yaitu jenis arsip berupa gambaran atau lukisan pada kertas yang menunjukkan letak suatu wilayah. Contohnya: peta wilayah kekuasaan Mangkunegaran. 3. Foto, yaitu jenis arsip yang berupa potret atau gambar dalam bentuk cetak mengenai suatu keadaan yang nyata. Contohnya: foto bendahara Mangkunegaran beserta dayang-dayangnya, foto pabrik karet, foto prajurit dan tentara, dan lain sebagainya. 4. Video, yaitu jenis arsip berupa rekaman gambar hidup suatu kegiatan di masa pemerintahan Mangkunegaran. Contohnya : video pagelaran seni Mangkunegaran. 5. Kaset, yaitu jenis arsip berupa rekaman suara. Contohnya : Kaset tembang-tembang Jawa dan macapatan.

Arsip Mangkunegaran dikelompokkan berdasarkan periode masa kepemimpinan. Mulai dari Mangkunegaran IV sampai Mangkunegaran VIII. Dari tiap periode Mangkunegaran tersebut dikelompokkan kembali berdasarkan kegiatan, antara lain menjadi arsip keuangan, arsip kemiliteran, arsip perusahaan, arsip olahraga dan arsip lainnya. Ruang arsip di puri Mangkunegaran ini hanya menyimpan arsip-arsip raja yang telah meninggal, sebab seorang raja akan menyimpan sendiri arsip-arsip yang berkaitan dengan pemerintahannya sampai ia mangkat.

Pengelolaan arsip, sebagai kebutuhan penelitian dan ilmu pengetahuan saat ini dikelola sepenuhnya oleh bagian arsip. Di bagian tersebut, pengunjung tidak diperkenankan mengambil arsip sendiri, namun dilayani oleh petugas. Arsip-arsip tersebut sebagian besar juga telah disalin untuk memperkecil risiko kerusakan.

Pemusnahan arsip di Mangkunegaran belum pernah ada, hal tersebut untuk menghormati raja-raja yang telah berjasa memimpin, serta pentingnya sumber-sumber informasi yang dapat diperoleh dari arsip tersebut. Biasanya arsip-arsip di sana musnah dengan sendirinya karena usia atau karena biota (dimakan ngengat, kutu buku, rayap, atau jamur).

Untuk perawatan arsip menggunakan cara fumigasi/penyiangan, penggunaan kapur barus, box arsip dan restorasi dengan menggunakan tissue Jepang. Mengingat begitu mahal dan sulitnya mendapatkan tissue Jepang, maka Mangkunegaran bekerja sama Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Setiap tahunnya ANRI akan memberikan bantuan berupa tisu Jepang yang belum dapat diproduksi Indonesia, sehingga perlu impor dari Jepang.

 Sudah 266 tahun lamanya Mangkunegaran mampu bercerita tentang sejarah, politik, seni budaya bahkan sampai pada kulinernya hampir di setiap sudutnya. Setapak demi setapak, langkah berpijak, kaki menjejak ,waktu tak terelak. Selamat ulang tahun Mangkunegaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun