Perpustakaan Istana Mangkunegaran, 1986 menyebutkan bahwa sejarah berdirinya Mangkunegaran berawal dari konflik perebutan takhta di antara para pewaris Mataram. Sejak penguasa Mataram mulai bekerjasama dengan VOC, pemberontakan dari keluarga kerajaan ataupun pihak luar semakin sering terjadi. Salah satu yang terkenal adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwono II) dan Mangkubumi. Raden Mas Said adalah putra Pengeran Mangkunegara sekaligus cucu Amangkurat IV.
Mangkunegaran adalah satu dari empat pecahan Kerajaan Mataram Islam yang istananya berlokasi di kecamatan Banjarsari Surakarta, Jawa Tengah. Dikutip dari buku Sejarah Milik Praja Mangkunegaran terjemahan dari Geschiedenis Der Eigendommen Van Het Mangkoenegorosche Rijk oleh Dr. S Mansteld diterjemahkan oleh R. Tg. Muhammad Husodo Pringgokusumo Kepala " Rekso Pustoko"Menurut sumber-sumber dari Mangkunegaran, Pangeran Mangkunegara adalah putra tertua Amangkurat IV yang sebenarnya berhak menggantikan posisi ayahnya sebagai raja. Namun, dalam kenyataannya justru Pakubuwono II yang naik takhta. Sedangkan Pangeran Mangkunegara diasingkan ke Sri Lanka karena tidak disenangi Belanda. VOC beberapa kali mengajukan perundingan kepada Raden Mas Said dan Mangkubumi, tetapi ditolak. Bahkan ketika Mangkubumi bersedia mengadakan perundingan, Raden Mas Said tetap tidak mau kompromi dengan Belanda karena yakin akan kekuatan pasukannya.
Pemberontakan Mangkubumi resmi diakhiri ketika Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13 Februari 1755, yang isinya membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Nagari Kasultanan Ngayogyakarta dan Nagari Kasunanan Surakarta. Kasultanan Ngayogyakarta diberikan kepada Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I, sementara Kasunanan Surakarrta menjadi hak Pakubuwono III.
Perjanjian Salatiga
Raden Mas Said, yang tidak terlibat dalam Perjanjian Giyanti dan merasa belum mendapatkan haknya, semakin gencar melakukan perlawanan terhadap Hamengkubuwono I, Pakubuwono III, dan VOC. Di saat yang sama, VOC terus menawarkan solusi dengan jalan perundingan, yang akhirnya diterima oleh Raden Mas Said. Pihak-pihak terkait kemudian berkumpul di Salatiga, Jawa Tengah, pada 17 Maret 1757 untuk menyepakati perjanjian.
Dalam perjanjian itu, Raden Mas Said diakui sebagai pangeran merdeka dengan wilayah otonom berstatus kadipaten yang disebut Praja Mangkunegaran. Perjanjian Salatiga menandai berdirinya Mangkunegaran. Mangkunegaran merupakan kadipaten yang posisinya dibawah kasunanan dan kasultanan, sehingga penguasanya tidak berhak menyandang gelar Sunan ataupun Sultan. Gelar para Mangkunegara yang memegang pemerintahan di Mangkunegaran adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA). Raden Mas Said kemudian dinobatkan sebagai pendiri sekaligus penguasa pertama Mangkunegaran yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, lengkapnya
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara Senopati Ing Ayudha Sudibyaningprang.
Wilayah Kekuasaaan
Setelah sekian abad menjadi Kerajaan otonom, pada September 1946 Mangkunegara VIII menyatakan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun meletusnya revolusi sosial di Surakarta pada tahun 1945-1946, telah mengakibatkan Mangkunegaran kehilangan kedaulatannya. Walaupun demikian Mangkunegara dan Puro Mangkunegaran masih tetap menjalankan fungsinya sebagai penjaga budaya.
Sedangkan wilayahnya mencakup bagian utara Kota Surakarta, yakni Kecamatan Banjarsari, kemudian seluruh Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonogiri, dan sebagian wilayah Kecamatan Ngawen serta Semin di Gunung Kidul, Yogyakarta. Secara keseluruhan, wilayah kekuasaan Mangkunegaran hampir mencapai 50 % wilayah kekuasaan Kasunanan.
Mulai tahun 1950 statusnya hanya keraton dengan raja tanpa kekuasaan politik.
Arsitektur
      Komplek bangunan Pura Mangkunegaran memiliki bagian-bagian yang menyerupai keraton seperti memiliki pamdan, pendapa, pringgitan, dalem, dan keputren. Seluruh kompleks dikelilingi oleh tembok, hanya bagian pemdan yang diberi pagar besi dan
dibangun dengan menggunakan gaya arsitektur Jawa Eropa, dalam hal ini Perancis.
      Penggunaan arsitektur Eropa Perancis dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, adanya gable (struktur atap yang tersusun dari dua bidang atap yang saling berlawanan arah) dan dormer (jendela atau lubang angin yang ditambatkan pada bagian atap) pada seluruh bangunan Pura Mangkunegaran.