Mohon tunggu...
Dinda Ayu Permata Sari
Dinda Ayu Permata Sari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Peternakan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kembalinya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Dampak bagi Peternak dan Negara

15 Mei 2022   10:11 Diperbarui: 17 Mei 2022   10:34 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia peternakan Indonesia kembali berduka. Setelah hampir 3 dekade dinyatakan sebagai salah satu negara bebas PMK (penyakit mulut dan kuku) oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) sejak tahun 1990, Indonesia kembali 'kecolongan' dengan temuan kasus pertama PMK di wilayah Jawa Timur. 

Kasus awal dimulai dari laporan adanya gejala mirip PMK di Kabupaten Gresik pada tanggal 28 April 2022, yang kemudian ditemukan pula di 3 kabupaten lain yaitu Lamongan, Mojokerto dan Sidoarjo.

Temuan ini serupa dengan laporan sebelumnya di Kabupaten Aceh Tamiang pada 22 April 2022. 

Data terakhir dari Kementan per tanggal 10 Mei, tercatat sudah ada 10 Provinsi dan 36 Kabupaten di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan ternak terinfeksi sebanyak 6.498 ekor. 

Kondisi ini tentunya sangat miris, mengingat kurang dari 2 bulan lagi adalah hari raya Idul Adha, dimana merupakan momen yang sangat dinanti peternak untuk dapat meraskan hasil dari ngarit dan angon ternaknya setiap hari.

Apalagi, tahun ini adalah tahun yang sangat diharapkan semenjak 2 tahun peternak merasakan dampak dari pandemi Covid-19.

Apa itu PMK, sejarah dan gejala klinis

PMK (penyakit mulut dan kuku) merupakan penyakit yang menyerang hewan berkuku belah baik hewan domestik maupun liar seperti sapi, kambing, domba, kerbau, babi, rusa dan onta yang disebabkan oleh virus Foot Mouth Disease (FMDV) yang termasuk dalam famili Picornaviridae dan genus Aphtovirus. 

Beberapa penelitian terakhir juga melaporkan adanya temuan FMDV pada beberapa spesies hewan seperti kanguru, gajah, tapir dan beruang.

Merunut kembali pada sejarah, PMK bukanlah penyakit baru di Indonesia. PMK pertama kali masuk pada tahun 1887 dengan temuan kasus pertama di Malang Jawa Timur dan menyebar di wilayah sekitar Pulau Jawa. 

Asal dari PMK yang masuk ke Indonesia saat itu adalah melalui impor ternak hidup dari Belanda. Pada tahun 1986, Indonesia telah dinyatakan bebas PMK dan pada tahun 1990 mendapat pengakuan dari sebagai negara bebas PMK tanpa vaksinasi OIE. 

Seiring berkembangnya waktu dari 1990-2021, pemerintah selalu melakukan pemantaun, surveilans dan pelaporan setiap tahunnya terhadap PMK kepada OIE dan di tahun 2022 ini, kasus kembali ditemukan.

Secara umum, gejala klinis yang terjadi pada hewan yang terinfeksi PMK biasanya diawali dari demam mencapai lebih dari 39C hingga menyebabkan napasnya terengah-engah, tidak nafsu makan, hipersalivasi atau keluarnya liur berlebih dari mulut dan pada beberapa kasus ditemukan hingga berbusa, dan penciri utama yaitu munculnya lesi-lesi atau lepuh pada lidah, mulut, gusi, keempat tracak kaki sehingga menyebabkan luka di kuku kaki hingga lepas dan pincang serta puting susu pada jenis ternak perah. 

Masa inkubasi virus PMK bervariasi antar spesies, rata-rata berkisar antara 2-8 hari sejak ternak terinfeksi. Tingkat mortalitas rata-rata 5-10%, paling rentan pada kategori ternak usia muda dengan morbiditas (tingkat kesakitan) hampir 100%.

Asal Penyebaran PMK

Belum diketahui pasti, darimana asal pertama PMK masuk kembali ke Indonesia. Virus PMK menyebar pada suatu wilayah melalui transportasi ternak yang terinfeksi, produk hewan yang berpotensi sebagai sumber transmisi penularan (daging, kulit mentah, produk susu, semen, embrio hewan rentan) dan hewan karier (pembawa). 

Selain itu, kontak langsung dengan alat atau barang yang terkontaminasi virus PMK, seperti peternak, kendaraan dan pakan ternak dapat menjadi sumber penularan virus PMK. 

Seperti misalnya saja, apabila peternak mendengar kabar ada sapi tetangga yang sakit, lalu datang, dan menyentuh sapi yang sakit, kemudian dari kedatang itu bisa jadi peternak menjadi pembawa virus untuk ternaknya sendiri, sehingga PMK menjadi cepat menyebar. 

Pada hewan yang terinfeksi, virus sangat mudah ditularkan melalui hembusan napas, saliva yang dikeluarkan dan lepuh yang ada pada tracak kaki, mulut, lidah dan gusi.

Jika lepuh pecah, maka akan sangat cepat menyebar ke lingkungan. Pada ternak babi, virus yang dikeluarkan melalui pernapasan bisa 3x lebih banyak dari yang dikeluarkan oleh sapi.

Dampak bagi Peternak dan Negara

Meskipun tidak dikategorikan sebagai penyakit yang bersifat zoonosis yang dapat ditularkan ke manusia, namun virus ini tidak boleh dianggap remeh. 

Kerugian ekonominya akibat PMK cukup besar, baik untuk negara maupun bagi peternak. 

Penanganan harus dilakukan dengan cepat. Pemerintah harus mengambil langkah dan kebijakan secara tepat dan hati-hati. 

Mortalitas untuk PMK memang masih dikategorikan rendah berkisar 5-10%, namun memiliki tingkat morbiditas (kesakitan) mencapai 100% serta menimbulkan dampak ekonomi dengan proyeksi kerugian mencapai Rp 11,6 triliun. 

Dampak PMK sangat terasa hingga jangka panjang. Hewan yang terjangkit PMK dan tidak segera mendapat penanganan yang tepat lama kelamaan akan mengalami penurunan produktivitas karena sakit yang dirasakan, sehingga terjadi penurunan bobot badan karena ternak tidak mau makan, dan akhirnya menyebabkan kematian. 

Selain itu, beberapa penelitian melaporkan adanya pengaruh pada reproduksi. Ternak dengan produktivitas dan pertumbuhan yang buruk dan tidak dapat bereproduksi secara normal tidak akan mampu menghasilkan anak setiap tahun dan tentunya sangat tidak efisien dalam pemeliharaan dan merugikan peternak. Begitupun pada ternak perah, dapat menyebabkan penurunan produksi susu.

Adanya kasus wabah PMK ini, secara psikologis tentunya sangat berpengaruh terlebih pada peternak rakyat. Bagi peternak rakyat dengan skala kepemilikan yang relatif kecil, hewan ternak bukan hanya sebagai sumber pendapatan dan tabungan, tapi juga sebagai hewan kesayangan yang "jika ternak sakit, peternak juga akan merasakan sakit".

Di Indonesia sendiri, kasus kematian ternak akibat penyakit dan virus masih cukup tinggi, diantaranya seperti brucellosis dan jembrana yang menyerang sapi Bali dengan penyebaran yang sangat cepat dan menimpulkan kerugian yang cukup besar.

Kondisi yang sering terjadi di lapangan apabila wabah virus menyerang ternak adalah peternak cenderung terburu-buru menjual ternaknya khawatir tertular ataupun langsung memotong ternak ditempat ketika didapati sudah dalam kondisi sakit daripada harus mengalami kerugian karena ternaknya mati.

Saat kondisi seperti ini biasanya harga sapi di peternak akan jatuh. Tak jarang hal ini dimanfaatkan oleh sejumlah pedagang (blanthik) untuk membeli sapi di peternak dengan harga yang sangat murah untuk dijual kembali baik di dalam wilayah suspect ataupun daerah lain yang tidak terdampak virus.

Hal ini tentunya sangat berbahaya, karena menyebabkan penyebaran virus semakin cepat.

Disaat swasembada daging yang hingga saat ini masih menjadi PR besar bangsa ini, tentu masuknya kembali wabah PMK sangat berdampak besar khususnya pada pengurasan populasi sapi dalam negeri. 

Terlebih temuan kasus pertama adalah wilayah Jawa Timur yang merupakan sentra populasi sapi potong terbesar dengan populasi sebanyak 4,61 juta ekor dengan kontribusi sebesar 27,72% dari total populasi sapi potong di Indonesia.

Ini artinya bahwa populasi sapi potong di Provinsi Jawa Timur menjadi bagian penting dalam perkembangan populasi sapi potong di Indonesia. Kembalinya PMK juga berdampak pada pembatasan ekspor untuk ternak maupun produk hasil ternak ke luar negeri.

Kebijakan dan upaya penanganan

Pemerintah sebagai pembuat kebijakan telah menyipkan berbagai langkah untuk pencegahan maupun penanganan ketika hewan ternak telah terjangkit virus PMK. 

Beberapa kebijakan yang telah dibuat diantaranya penutupan wilayah di daerah wabah, pembatasan lalu lintas, pengebalan hewan, pengisolasian hewan sakit atau terduga sakit, penanganan hewan sakit, pemusnahan bangkai, pengeradikasian penyakit hewan, pendepopulasian hewan, komunikasi informasi dan edukasi (KIE). 

Pemerintah telah mengimpor vaksin untuk penanganan lebih cepat. Pembuatan vaksin dalam negeri sesuai dengan sterotipe jenis virus yang ditemukan juga sedang dikebut agar ternak segera memperoleh kekebalan terhadap virus PMK. 

Dalam hal ini, pemerintah juga perlu menyiapkan anggaran untuk mitigasi risiko penyebaran PMK. Apalagi untuk ternak yang harus dimusnahkan, perlu adanya pertimbangan penggantian bagi peternak. Pendampingan teknis yang masif dari tenaga keswan sangat berperan penting dalam penanganan wabah ini. 

Puskeswan sebagai unit pelayanan terdekat bagi peternak harus selalu aktif, terlebih untuk daerah-daerah khususnya luar Pulau Jawa yang umumnya memiliki tenaga kesehatan hewan yang terbatas.

PMK sangat menular, namun akan dapat tertangani dengan adanya kerja sama yang kuat dan solid antara pemerintah dan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun