Sebenarnya saya tidak begitu tertarik mengomentari demo besar-besaran yang dilakukann umat Islam mulai 4 Nopember 2016 sampai keluarnya vonis pengadilan negeri Jakarta Utara. Apalagi dengan mengaitkan dengan persoalan politik Ibukota Republik Indonesia tersebut.
Disamping bukan penduduk Jakarta, bagi saya Ahok tak lebih dari sekedar manusia biasa dengan sepakterjanya mengedepankan mulut ceplas ceplos, tanpa memikirkan dampak yang timbul dikemudian hari. Bak kata pepatah, “Mulutmu Harimaumu Akan Menerkam Kepalamu,”.
Mengenai Ahok jadi Gubernur DKI Jakarta, saat ini menurut saya juga hanya faktor keberuntungan, lantaran dia punya uang. Dengan uang, dia bisa berpasangan dengan Jokowi, yang saat itu menjadi Walikota Solo. Apalagi, Jokowi berhasil membangun popularitas yang mampu dikonversi dengan peningkatan Elektabilitas (tingkat keterpilihan).
Dengan pencitraan yang luar biasa, Jokowi juga berhasil mempengaruhi pemilih Indonesia. Walau sebenarnya, jumlah pemilih dalam Pilpres 2014 itu itu hanya 69,59 persen. Atau turun dari dari tahun 2009 yang mencapai 72 persen. Jokowi secara otomatis meninggalkan Jakarta yang digantikan wakilnya Ahok.
Walau ada riak, namun dilantiknya Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta tidaklah begitu dipedulikan banyak orang. Kecualinya, pihak-pihak yang berkepentingan saja dengan politik Jakarta. Malahan, Ahok dengan mulus menjalankan programnya. Sekali lagi, ganjalan hanya berasal dari pihak yang berkepentingan dengan politik Jakarta
Namun, yang namanya Ahok seperti jumawa sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sebelum ngomong mulutnya tetap ceplas ceplos tanpa melalui sensor otak. Kalau boleh saya mengatakan, tabiat Ahok ngomong duluan mikir belakangan. Suatu hal yang sangat tabu pada budaya timur, khususnya Indonesia.
Apalagi, Indonesia dengan penduduk heterogen yang dibungkus dengan Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda beda tapi tetap satu. Suatu hal yang harus saling dihormati dan dihargai, baik melalui perkataan maupun perbuatan. Hal inilah yang dikenal dengan toleransi dan selalu diagung agungkan selama ini. Termasuk toleransi antar umat beragama.
Tapi, Ahok seperti tak peduli dengan sistem demokrasi yang telah terbangun. Dimana, dengan jiwa besar para politisi dari kaum muslim, dia sebagai kaum minoritas telah diberi kesempatan untuk menduduki jabatan tinggi di negeri ini.
Sebagai gubernur non muslim di daerah mayoritas muslim, mestinya Ahok bisa menempatkan diri. Apapun alasannya, Ahok tidak perlu membawa-bawa Kitab suci muslim dalam menghadapi kelompok muslim. Kalau, ingin membawa kitab juga, sampaikan kitab sendiri. Dan cari isi yang tidak jauh berbeda dengan Kitab suci muslim. Apalagi, Ahok akan berhadapan dengan kelompok politik dari kalangan muslim tentu akan berimplikasi besar. Disamping tak ada kawan yang abadi, dalam dunia politik praktis, hal kecil bisa menjadi besar dan sebaliknya.
Bagi kalangan non muslim, tak perlu pula harus merasa tersakiti. Karena, persoalan Ahok tidak ada kaitannya dengan agama lain. Begitu juga etnis lain, tak perlu pula merasa terganggu, karena hal ini menyangkut pribadi Ahok dengan umat muslim.
Timbulnya gejolak pada umat muslim, bukan karena Ahok bermata sipit atau dia non muslim. Tapi, karena perbuatannya yang bermain api dengan kitab suci muslim.
Kalau boleh membanding, 2 tahun vonis yang dijatuhkan pengadilan negeri Jakarta Utara masih patut disyukuri Ahok. Karena, vonis yang dijatuhkan pada penoda agama sebelumnya seperti Permadi, Arswendo Atmowiloto, Antonius Richmond Bawengan dan yang lain justru lebih berat dari vonis yang diterima Ahok.
Akhir kata, kalau ingin toleransi tetap terjaga maka janganlah menyinggung yang bukan keyakinan kita. Karena kalau toleransi terjaga maka kehidupan akan semakin nyaman di negeri tercinta Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika akan tetap utuh dengan mengedepankan toleransi, terutama antar umat beragama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H