"Eh, endak, Jeng! Aku sama bapak, kok!" sahut Bu Darso tergagap, "Jeng Maryam kok ...."
"Kenapa, Budhe? Saya baik-baik saja," sahut Maryam, "Jangan lihat saya begitu, ah! Saya malu," ujarnya lagi.
Bu Darso tersenyum, kemudian berbisik sesaat sebelum Pak Darso menghampiri, "Tak kira Jeng Maryam ini anti sama Non Muslim seperti saya, lho."
Maryam masih berdiri di tempatnya berdiri, pandangannya mengikuti kedua suami-istri yang berlalu lima menit berselang. Adakah yang salah dengan sikapku selama ini? keluhnya dalam hati. Perlahan Maryam berjalan ke dalam rumah, sebelum meninggalkan rumah dia memastikan semua aman. Setelah mengunci pintu-pintu, perempuan itu berangkat ke panti tujuannya.
***
Satu jam duapuluh menit kemudian, Maryam memasuki kantor panti untuk bertemu dengan Rabina, kawan lama dari kota kelahirannya, yang bekerja sebagai Kepala Panti.
"Doakan aku, Na," pinta Maryam seraya menyusut airmata dengan ujung jilbab lebar yang ia kenakan pagi ini.
"Insyaallah, Mar. Semoga segera dipertemukan dengan Aisyah," jawab Rabina lirih, kemudian mengajaknya mengunjungi anak-anak di aula.
Mata Maryam kembali berkaca-kaca, saat melihat anak-anak panti yang pagi itu dikumpulkan. Apalagi setelah pandangannya bertemu dengan gadis kecil seumuran Aisyah, jantungnya berdetak lebih keras.
"Yang berbaju orange bunga-bunga siapa?" bisikknya pada Rabina.
"Kami memberinya nama Mentari, karena kami menemukannya saat matahari terbit."