Mohon tunggu...
Sarianto Togatorop
Sarianto Togatorop Mohon Tunggu... Guru - Pengajar yang menyukai kebebasan

Seseorang yang tak tahu kalau dia ada

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Rasa Kasihan, Racun dalam Penilaian Ujian Siswa

22 Juni 2020   06:07 Diperbarui: 22 Juni 2020   06:39 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabtu, 20 Juni 2020 pembagian rapor sekolah telah dilaksanakan. Ada yang secara langsung diserahkan kepada siswa atau orang tua, ada juga yang melalui virtual dan ada juga yang dikirimkan melalui email atau gawai yang memungkinkan. Siswa dan orang tua telah menerima laporan hasil belajar untuk semester genap, sekaligus pernyataan naik atau tidaknya siswa yang bersangkutan.

Sontak ramai pula sosial media postingan hasil pencapaian proses belajar selama semester ini. Tidak hanya siswa, orang tua pun turut meramaikan arus posting prestasi anak-anaknya. Begitulah masyarakat kita sangat antusias dengan pembagian rapor.

Terlebih situasi pandemi yang mengharuskan anak-anak belajar dari rumah. Dan banyak juga orang tua yang turut membantu anak-anaknya belajar dari rumah. Sehingga mereka pun sangat penasaran dengan hasil belajar yang diberikan guru. Tampaknya mereka penasaran guru memberi nilai berapa atas usaha mereka membantu anak-anak mereka belajar dari rumah.

Dari sekian banyak postingan yang saya perhatikan, ada salah satu postingan yang cukup menarik buat saya. Postingan dari salah seorang guru, mengajar di SMP dan juga merupakan orang tua. Saya tidak tahu apakah postingannya mengenai guru anaknya, atau mengenai rekannya guru di sekolah atau bagi guru lain di sekolah lain. Yang pasti postingannya ditujukan kepada guru. Postingannya kira-kira seperti ini, "Ya ampun, dalam situasi pandemi seperti ini masih tega ngasi nilai anak di bawah KKM? Apa gak punya hati? Coba anak anda yang diberi nilai dibawah KKM, apa bisa terima?" Kira-kira begitu. Saya kira-kira saja, saya tak mengingat kalimat persisnya.

KKM itu singkatan dari Kriteria Ketuntasan Minimum, artinya nilai terendah yang harus dicapai anak untuk dapat dikatakan telah menuntaskan pelajaran. KKM ini disusun oleh guru dengan proses perhitungan yang lumayan panjang, bukan sebagai angka yang dibuat-buat dan asal jadi.

Kembali ke isi postingan tadi. Cukup menggelitik buat saya. Karena saya banyak kali menemukan praktek seperti itu dalam penilaian. Menggunakan prinsip "KASIHAN". Bolehkah? Kalau pertanyaannya boleh atau tidak, maka silahkan menyimak penjelasananya.

Prinsip Penilaian

Prinsip penilaian pendidikan di Indonesia di atur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 20 tahun 2007 tentang standar penilaian pendidikan dan diesmpurnakan kembali lewat Permendikbud nomor 66 tahun 2013 tentang standar penilaian pendidikan.

Menurut Permen ini, bahwa penilaian hasil belajar peserta didik harus dilaksanakan dengan prinsip: Objektif, Terpadu, Ekonomis, Transparan, Akuntabel dan Edukatif. Boleh dibaca sekali lagi jika kurang jelas. Sudah? Kalau sudah, maka pertanyaan saya, adakah KASIHAN di dalamnya? Tidak. Jadi tidak ada prinsip kasihan, jangan ditambah-tambahin.

Mengapa bisa terjadi kasihan? Banyak faktor. Salah satunya adalah budaya ketimuran kita yang sangat sosialis. Apa kaitannya? Kita sangat suka tolong menolong. Tetangga atau oran-orang dekat kita kesusahan pastilah kita bantu. Orang yang tidak kita kenal saja pun terkadang kita bantu.

Prinsip ini yang dibawakan dalam penilaian. Kasihan, anak sudah capek berusaha. Kasihan, anak mengalami situasi yang sulit. Kasihan, kasihan dan banyak kasihan lainnya. Bukan tidak boleh kasihan kepada orang lain, namun melakukan penilaian dengan berlandaskan pada rasa kasihan jelas-jelas melanggar permendikbud.

Saa teringat pada sebuah penggalan adegan film The Freedom Writers, saat seorang siswa mendapat nilai F dalam mata pelajarannya. Siswa tersebut mendapat nilai F karena situasi keluarganya yang sedang kacau, kakaknya masuk penjara akibat pergaulan yang buruk dan situasi ini membuatnya sulit untuk konsentrasi belajar. Menarik bagaimana Miss G, wali kelasnya, mengajak siswa tersebut bicara empat mata dan langsung to the point. Tidak ada prinsip kasihan dalam menilai. F tetaplah F.

Apakah Miss G tidak kasihan. Tentu dia kasihan. Tapi tidak dengan menggunakan rasa kasihan untuk menyulap nilai. Tapi memberi kesempatan kepada siswa tadi melakukan ujian lagi dengan lebih dulu belajar lebih baik, walau pun situasinya sulit untuk belajar, sampai nilainya menjadi baik. Praktik seperti ini dinakaman Remidi dalam pendidikan kita.

Miss G mengajarkan bahwa kasihan tidak akan menjadikan siswanya memiliki karakter yang kuat. Tidak dapat mengandalkan belas kasihan untuk memperoleh nilai. Belum tentu juga orang lain akan kasihan kepada kita.

Miss G boleh saja dengan rasa kasihan untuk memberikan nilai sebatas tuntas, namun tidak, ia tetap berpegang bahwa nilai siswa harus menggambarkan usahanya. Hasil tidak akan menghianati usaha.

Surat Edaran Menteri Pendidikan

Menjelang Ujian Nasional (UN) kemeterian pendidikan mengelaurkan Surat Edaran Nomo 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan dalam Masa Darurat Covid-19 yang membatalkan pelaksanaan UN tahun 2020. Dalam surat edaran ini pun disampaikan bahwa dalam pelaksanaan Ujian Akhir Semester (UAS), dalam hal ini adalah Ulangan Kenaikan Kelas (UKK), tidak perlu mengukur ketuntasan capaian kurikulum secara menyeluruh. Artinya tidak perlu mengukur ketuntasan. Masalah tuntas tidaknya itu tidak perlu lagi. Sebab belajarnya pun sudah tak menentu. Tapi tidak menyarankan untuk menggunakan prinsip kasihan di dalamnya.

Surat edaran ini menjadi patokan bahwa dalam UKK, anak tidak lagi harus tuntas, sebab untuk remidi pun sudah sulit. Jadi jika nilai anak tidak tuntas pun, menurut saya tidak jadi masalah.

Mengapa masih ada nilai anak yang belum tuntas? Banyak faktor. Saya mencoba menganalogikakan. UKK dirancang untuk mendorong kegiatan yang bermakna di tengah pandemi. Maksudnya, soal UKK lebih diarahkan kepada kegiatan yang dapat memperkaya pengetahuan dan keterampilan siswa di masa pandemi. 

Jadi tidak lagi diarahkan pada menilai pengetahuan dan keterampilan menguasai materi di dalam kurikulum. Artinya sudah dimudahkan. Lalu ada siswa yang tidak mengerjakannya, atau mengerjakannya pun tidak dengan baik. Maka kembalilah ke prinsip penilaian tadi. Tentu hasilnya pun tidak mencapai apa yang diharapkan. Walau pun sudah dimudahkan.

Menilai sejatinya butuh idealisme. Saya pernah berhadapan dengan siswa yang minta dikasihani padahal sudah saya permudah ulangannya. Namun tidak mau berusaha da lebih meminta dikasihani. Menilai dengan rasa kasihan dapat merusak mentalitas anak. Anak-anak akan mengasihani diri sendiri. Anak-anak akan mengandalkan rasa kasihan, tidak lagi sungguh-sungguh.

Akan seperti apa generasi ini jika mengandalkan rasa kasihan. Selalu minta dikasihani. Lama-lama akan seperti pengemis yang mengais rejeki bertarung di antara rasa kasihan. Guru harus idealis dalam menilai. Sebab dari situ anak-anak akan terbangun untuk tidak mengandalkan rasa kasihan dalam belajar.

ST, Djb June 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun