Mohon tunggu...
Sarianto Togatorop
Sarianto Togatorop Mohon Tunggu... Guru - Pengajar yang menyukai kebebasan

Seseorang yang tak tahu kalau dia ada

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Rasa Kasihan, Racun dalam Penilaian Ujian Siswa

22 Juni 2020   06:07 Diperbarui: 22 Juni 2020   06:39 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saa teringat pada sebuah penggalan adegan film The Freedom Writers, saat seorang siswa mendapat nilai F dalam mata pelajarannya. Siswa tersebut mendapat nilai F karena situasi keluarganya yang sedang kacau, kakaknya masuk penjara akibat pergaulan yang buruk dan situasi ini membuatnya sulit untuk konsentrasi belajar. Menarik bagaimana Miss G, wali kelasnya, mengajak siswa tersebut bicara empat mata dan langsung to the point. Tidak ada prinsip kasihan dalam menilai. F tetaplah F.

Apakah Miss G tidak kasihan. Tentu dia kasihan. Tapi tidak dengan menggunakan rasa kasihan untuk menyulap nilai. Tapi memberi kesempatan kepada siswa tadi melakukan ujian lagi dengan lebih dulu belajar lebih baik, walau pun situasinya sulit untuk belajar, sampai nilainya menjadi baik. Praktik seperti ini dinakaman Remidi dalam pendidikan kita.

Miss G mengajarkan bahwa kasihan tidak akan menjadikan siswanya memiliki karakter yang kuat. Tidak dapat mengandalkan belas kasihan untuk memperoleh nilai. Belum tentu juga orang lain akan kasihan kepada kita.

Miss G boleh saja dengan rasa kasihan untuk memberikan nilai sebatas tuntas, namun tidak, ia tetap berpegang bahwa nilai siswa harus menggambarkan usahanya. Hasil tidak akan menghianati usaha.

Surat Edaran Menteri Pendidikan

Menjelang Ujian Nasional (UN) kemeterian pendidikan mengelaurkan Surat Edaran Nomo 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan dalam Masa Darurat Covid-19 yang membatalkan pelaksanaan UN tahun 2020. Dalam surat edaran ini pun disampaikan bahwa dalam pelaksanaan Ujian Akhir Semester (UAS), dalam hal ini adalah Ulangan Kenaikan Kelas (UKK), tidak perlu mengukur ketuntasan capaian kurikulum secara menyeluruh. Artinya tidak perlu mengukur ketuntasan. Masalah tuntas tidaknya itu tidak perlu lagi. Sebab belajarnya pun sudah tak menentu. Tapi tidak menyarankan untuk menggunakan prinsip kasihan di dalamnya.

Surat edaran ini menjadi patokan bahwa dalam UKK, anak tidak lagi harus tuntas, sebab untuk remidi pun sudah sulit. Jadi jika nilai anak tidak tuntas pun, menurut saya tidak jadi masalah.

Mengapa masih ada nilai anak yang belum tuntas? Banyak faktor. Saya mencoba menganalogikakan. UKK dirancang untuk mendorong kegiatan yang bermakna di tengah pandemi. Maksudnya, soal UKK lebih diarahkan kepada kegiatan yang dapat memperkaya pengetahuan dan keterampilan siswa di masa pandemi. 

Jadi tidak lagi diarahkan pada menilai pengetahuan dan keterampilan menguasai materi di dalam kurikulum. Artinya sudah dimudahkan. Lalu ada siswa yang tidak mengerjakannya, atau mengerjakannya pun tidak dengan baik. Maka kembalilah ke prinsip penilaian tadi. Tentu hasilnya pun tidak mencapai apa yang diharapkan. Walau pun sudah dimudahkan.

Menilai sejatinya butuh idealisme. Saya pernah berhadapan dengan siswa yang minta dikasihani padahal sudah saya permudah ulangannya. Namun tidak mau berusaha da lebih meminta dikasihani. Menilai dengan rasa kasihan dapat merusak mentalitas anak. Anak-anak akan mengasihani diri sendiri. Anak-anak akan mengandalkan rasa kasihan, tidak lagi sungguh-sungguh.

Akan seperti apa generasi ini jika mengandalkan rasa kasihan. Selalu minta dikasihani. Lama-lama akan seperti pengemis yang mengais rejeki bertarung di antara rasa kasihan. Guru harus idealis dalam menilai. Sebab dari situ anak-anak akan terbangun untuk tidak mengandalkan rasa kasihan dalam belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun