Mohon tunggu...
Sarianto Togatorop
Sarianto Togatorop Mohon Tunggu... Guru - Pengajar yang menyukai kebebasan

Seseorang yang tak tahu kalau dia ada

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menggugat Peran Protagonis yang Selalu Menderita

18 Juni 2020   18:17 Diperbarui: 18 Juni 2020   18:13 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menonton dulu menjadi salah satu hobi saya. Setiap hari pasti saya sempatkan menonton televisi. Dari tayangan hiburan, berita, kartun, sinetron (saya malu mengakuinya), drama korea hingga ke film box office yang tayang di televisi. Sekedar untuk hiburan selepas lelah dengan rutinitas pekerjaan atau menjadi hiburan tersendiri mengisi waktu libur.

Belakangan ini saya sudah kurang menyukai menonton televisi selain untuk berita. Acara hiburan yang kurang mendidik hingga sinetron yang sungguh membuat kehilangan selera. Tapi itulah yang tersedia, kita bisa apa. Akhirnya beralih ke aplikasi penyedia layanan video berbayar lewat android. Bisa memilih tayangan yang disukai dan bisa menikmati tontonan di mana pun dan kapanpun. Terlebih saat terkoneksi dengan wifi.

Ada alasan lain yang membuat saya mulai berhenti menyukai menonton tayangan televisi khususnya sinetron atau beberapa judul film. Kebiasaan menggambarkan tokoh protagonisnya sebagai karakter yang lemah. Selalu menderita dan mengalami banyak hal yang rasanya tidak manusiawi. Tokoh protagonisnya sebagai seseorang yang lemah, tak mampu melawan ketidak adilan, hanya pasrah dan tinggal menunggu episode akhir di mana kebahagiaan datang sebagai keberuntungan.

Haruskah seperti itu? Saya kurang menyukai alur seperti itu, bahkan begitu-begitu saja dari satu permasalahan ke permasalahan lain yang diceritakan, tetap saja si Protagonis akan menderita sementara si Antagonis selalu yang menginjak-injak. Seolah hanya ada kisah Bawang Putih Bawang Merah yang ada di sekitar kita. Haruskah seperti itu?

Degradasi Nilai Kebenaran Mengalahkan Kejahatan

Tidak hanya sinteron Indonesia, drama Korea yang sangat digandrungi sekarang pun, jika ceritanya masih menunjukkan hal yang sama biasanya saya akan segera tinggalkan. Buat saya, ini pembodohan. Tidak benar seperti itu.

Kebiasaan menjadikan tokoh protagonis untuk dramatisasi cerita dulunya memang sangat umum dalam sinetron. Namun efeknya adalah mengaburkan makna bahwa kebenaran harus mengalahkan kejahatan. Sepanjang cerita lebih banyak kita saksikan tokoh protagonis mengalami kekalahan ketimbang kemenangan. Kebenaran lebih banyak kalah dari kejahatan.

Ini buruk jika nilai ini tertanam dalam kehidupan kita, terlebih bagi remaja atau anak-anak yang menonton tayangan ini menjadi terbiasa bahwa kebenaran itu awal-awalnya harus kalah, baru nanti di akhir kebenaran baru menang.

Mengapa tidak membuat ceritanya bahwa tokoh protagonis mengalami perjuangan berat mengalahkan kejahatan tokoh antagonis dengan adegan-adegan di mana tokoh protagonis melawan penindasan tokoh antagonis dengan cara-cara yang kreatif, menggunakan kemampuannya, mengerahkan segala upayanya untuk melawan penindasan hingga mengalahkan kejahatan dengan tetap berpegang kepada kebenaran. Ini akan lebih mendidik.

Saya kurang menyukai tokoh protagonis yang digambarkan sebagai tokoh yang selalu mengalami siksaan, diikat, dikurung dalam kamar, harta orang tuanya dirampas, dijadikan pembantu atau budak, tidak punya kemampuan melawan, selalu menangis yang semuanya itu dilakukan dengan kepasrahan. Haruskah sepeti itu?

Kejahatan memang harus dilawan, dan kebenaran harus mengalahkannya. Nilai didik ini harus tetap dipegang, namun haruskah dengan selalu membuat tokoh protagonis menderita sepanjang cerita? Bukankah dia harus melawan? Apakah tokoh protagonisnya tidak punya keahlian lain selain kekuatan menerima semua bentuk penyiksaan?

Tokoh protagonis harus kuat, selain mengalami penderitaan harusnya nilai patriotisme ditanamkan dengan menyuguhkan alur cerita di mana tokoh protagonis memiliki keberanian melawan penindasan dan mampu menemukan cara mengalahkan kejahatan. Ini akan membuat cerita lebih menarik, sebab baik tokoh protagonis dan antagonis dituntut untuk kreatif dalam mempertahankan eksistensi diri.

Dengan seperti ini nilai didik bahwa orang benar harus punya kekuatan untuk mempertahankan kebenaran dan mengalahkan kejahatan tetap terjaga.

Lebih Enak Jadi Orang Jahat

Buat saya ini sebuah kemerosotan nilai. Menjadi benar memang banyak susahnya di tengah banyaknya ketidakbenaran saat ini. Orang yang berintegritas menjadi susah, sementara yang tidak memegang prinsip kebenaran nampak hidup dengan kenyamanan. Tapi menggambarkan tokoh protagonis seperti ini dapat menimbulkan pesimistis. Bahwa orang yang benar memang akan selalu kalah dari yang jahat sebelum cerita mencapai babak final.

Bukankah kita akan berpikir lebih enak jadi antagonis, lebih banyak menangnya ketimbang yang protagonis. Yang antagonis selalu mengalahkan yang protagonis, kecuali pada akhir-akhir cerita di mana keajaiban mungkin menaungi tokoh protagonis. Ya hanya keajaiban yang memenangkan tokoh protagonis.

Saat akan mempersembahkan pertunjukan drama di sekolah, ramai-ramai anak-anak berebut peran antagonis. Setelah saya tanya alasannya, mereka urung jadi protagonis karena selalu menderita. Tidak enak jadi protagonis, mending jadi antagonis yang cuma kalah di akhir cerita. Yang protagonis malah gak pernah menang.

Jika kita mencermati alasan anak-anak, harusnya kita hati-hati, mungkin saja mereka berkesimpulan bahwa dalam hidup ini pun begitu. Lebih enak menjadi orang jahat, lebih sering menang dari pada orang baik. Orang baik hanya menang di bagian akhir.

Miskin Ide atau Memang Penonton Menyukai

Sempat terpikir, apa memang semua ide cerita sinetron atau film di negara kita seperti itu? Apa tidak ada ide yang lain? Sebegitu kayanya kebudayaan kita apakah tidak dapat memunculkan ide cerita yang kaya nilai patriotisme kehidupan?

Dunia hiburan tak jauh dari rating. Tayangan akan tetap bertahan jika ratingnya tinggi. Artinya, sebuah tayangan seperti sinetron juga dibuat atas pertimbangan rating penontonnya. Jika penonton menyukai sebuah tayangan sinetron seperti ini yang ditunjukkan dengan rating yang tinggi maka cerita akan dipertahankan demikian. Lalu, jika demikian, apakah tayangan kita yang begini ini adalah karena rating? Jika iya, apakah masyarakat kita memang menyukai cerita yang begini? Atau karena tak ada lagi tayangan yang lebih mendidik sehingga mau tak mau masyarakat menonton tayangan yang seperti ini?

Jika seluruh sinetron dibuat dengan meninggalkan ide cerita seperti ini, bukankah masyarakat tetap akan memberi rating karena hanya itu tayangan yang tersedia, seperti saat ini masyarakat tak punya pilihan lain. Jadi menyalahkan rating juga kurang tepat menurut saya. Hanya industri kita kurang mau menyuguhkan ide cerita yang baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun