Mohon tunggu...
Sarianto Togatorop
Sarianto Togatorop Mohon Tunggu... Guru - Pengajar yang menyukai kebebasan

Seseorang yang tak tahu kalau dia ada

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menggugat Peran Protagonis yang Selalu Menderita

18 Juni 2020   18:17 Diperbarui: 18 Juni 2020   18:13 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tokoh protagonis harus kuat, selain mengalami penderitaan harusnya nilai patriotisme ditanamkan dengan menyuguhkan alur cerita di mana tokoh protagonis memiliki keberanian melawan penindasan dan mampu menemukan cara mengalahkan kejahatan. Ini akan membuat cerita lebih menarik, sebab baik tokoh protagonis dan antagonis dituntut untuk kreatif dalam mempertahankan eksistensi diri.

Dengan seperti ini nilai didik bahwa orang benar harus punya kekuatan untuk mempertahankan kebenaran dan mengalahkan kejahatan tetap terjaga.

Lebih Enak Jadi Orang Jahat

Buat saya ini sebuah kemerosotan nilai. Menjadi benar memang banyak susahnya di tengah banyaknya ketidakbenaran saat ini. Orang yang berintegritas menjadi susah, sementara yang tidak memegang prinsip kebenaran nampak hidup dengan kenyamanan. Tapi menggambarkan tokoh protagonis seperti ini dapat menimbulkan pesimistis. Bahwa orang yang benar memang akan selalu kalah dari yang jahat sebelum cerita mencapai babak final.

Bukankah kita akan berpikir lebih enak jadi antagonis, lebih banyak menangnya ketimbang yang protagonis. Yang antagonis selalu mengalahkan yang protagonis, kecuali pada akhir-akhir cerita di mana keajaiban mungkin menaungi tokoh protagonis. Ya hanya keajaiban yang memenangkan tokoh protagonis.

Saat akan mempersembahkan pertunjukan drama di sekolah, ramai-ramai anak-anak berebut peran antagonis. Setelah saya tanya alasannya, mereka urung jadi protagonis karena selalu menderita. Tidak enak jadi protagonis, mending jadi antagonis yang cuma kalah di akhir cerita. Yang protagonis malah gak pernah menang.

Jika kita mencermati alasan anak-anak, harusnya kita hati-hati, mungkin saja mereka berkesimpulan bahwa dalam hidup ini pun begitu. Lebih enak menjadi orang jahat, lebih sering menang dari pada orang baik. Orang baik hanya menang di bagian akhir.

Miskin Ide atau Memang Penonton Menyukai

Sempat terpikir, apa memang semua ide cerita sinetron atau film di negara kita seperti itu? Apa tidak ada ide yang lain? Sebegitu kayanya kebudayaan kita apakah tidak dapat memunculkan ide cerita yang kaya nilai patriotisme kehidupan?

Dunia hiburan tak jauh dari rating. Tayangan akan tetap bertahan jika ratingnya tinggi. Artinya, sebuah tayangan seperti sinetron juga dibuat atas pertimbangan rating penontonnya. Jika penonton menyukai sebuah tayangan sinetron seperti ini yang ditunjukkan dengan rating yang tinggi maka cerita akan dipertahankan demikian. Lalu, jika demikian, apakah tayangan kita yang begini ini adalah karena rating? Jika iya, apakah masyarakat kita memang menyukai cerita yang begini? Atau karena tak ada lagi tayangan yang lebih mendidik sehingga mau tak mau masyarakat menonton tayangan yang seperti ini?

Jika seluruh sinetron dibuat dengan meninggalkan ide cerita seperti ini, bukankah masyarakat tetap akan memberi rating karena hanya itu tayangan yang tersedia, seperti saat ini masyarakat tak punya pilihan lain. Jadi menyalahkan rating juga kurang tepat menurut saya. Hanya industri kita kurang mau menyuguhkan ide cerita yang baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun