Izinkan saya mengucapkan Minal Aidin Wal Faizin, Selamat Idul Fitri 1441 H, maafkanlah saya lahir dan batin. Karena saya sudah minta maaf, jadi kalau tulisan saya ini kurang berkenan, saya rasa pembaca yang baik akan memberikan maaf yang tulus buat saya. Mudah-mudahan beberapa baris kalimat saya ini bisa menambah suka cita berlebaran.
Hari ini sahabat-sahabat saya yang Muslim merayakan hari kemenangan. Ucapan “Selamat Idul Fitri – Mohon maaf lahir dan batin” berseliweran hampir di semua medsos. Suatu tradisi baik yang masih terpelihara hingga saat ini. Hampir semua group Whatsapp membunyikan ucapan yang sama. Pokoknya hari ini hari yang ramai buat gadget saya.
Pagi tadi, seorang siswaku mengirim pesan lewat Mesenger: “Bapakkk... Selamat Idul Fitri ya Pak. Mohon maaf ya pak kalau selama ini ada kata-kataku yang salah atau aku sering buat bapak marah. Aku sayang bapakkk.” Ohh manisnya, membuat mataku berkaca-kaca. Biasanya di lebaran-lebaran sebelumnya dia gak pernah seantusias itu mengucapkan selamat Idul Fitri. Paling hanya membawakan saya sisa kue lebarannya, sambil senyum dan menyalami. Mungkin efek sudah lama tidak bertemu karena Belajar dari Rumah (BDR).
Ramadhan menjadi kesempatan yang baik baginya untuk menikmati rindu pada dekatnya kebersamaan secara fisik. Masa puasa dalam situasi pandemi memaksanya lebih banyak beribadah di rumah telah sedikit mendewasakannya. Ia tak mau kehilangan kehangatan Idul Fitri walau sebatas meberi salam dari jauh. Itu tak mengurangi nilai bersihnya hati kala saling bermaafan.
Lebaran tahun ini menjadi lebaran yang unik. Bagaimana tidak, dulu kita terbiasa dengan lebaran harus mudik, sekarang kita lebaran dengan #JanganMudik. Kita terbiasa sungkem saat saling bermaafan.
Sekarang kita bermaafan dengan Video Call. Dulu kita lebaran dengan ramainya takbiran, sekarang kita lebaran dengan berdiam diri dan menggemakan takbir sendiri di rumah kita.
Dulu kita lebaran dengan sholat Id di Masjid dalam situasi yang ramai, sekarang kita lebaran dengan sholat Id di rumah. Dulu kita lebaran dengan saling mengunjungi, sekarang kita lebaran dengan pesan suara yang mengunjungi.
Terasa lain memang. Dan banyak yang tak bisa menerima situasi ini. Mencoba mengulang situasi lebaran seperti sebelumnya. Ada yang berupaya tetap mudik dan ada yang berjejalan di mall untuk belanja pakaian baru, supaya lebaranya tetap seperti sebelumnya.
Lebaran tahun ini akan terasa unik bagi mereka yang peka melihat berkah dalam situasi ini. Ini bukan musibah, lebaran tak akan rusak oleh pandemi ini. Hanya cara kita mengartikannya yang perlu kita rubah.
Mari melihat ini sebagai kesempatan merayakan kemenangan dengan cara yang berbeda. Apakah kita baru dikatakan menang jika lebaran kita sama seperti lebaran sebelumnya? Bukan. Kemenangan kita tetap lengkap, bahkan terasa lebih bernilai, sebab kita menjalaninya dengan cara yang lebih rumit dari tahun sebelumnya.
Kita harus menjalani puasa Ramadhan yang menuntut kita lebih banyak beribadah di rumah. Tapi untungnya, kita jadi punya lebih banyak waktu untuk menikmati ibadah kita di rumah. Bukankah perjuangan yang berat menghasilkan penghargaan yang besar pula?
Tahun ini kita tidak sungkeman. Tidak apa-apa. Nilainya tak akan hilang, sebab tulusnya maaf bukan persoalan apakah kita bersujud mengucapkannya, tapi bagaimana hati kita menyesali kesalahan dan mengharapkan perubahan sikap kita yang kurang berkenan. Lebaran tahun ini unik, kerena kita belajar mengucapkan maaf dari jarak yang jauh, namun tulusnya hati tak tertutupi. Unik karena kita saling berlomba untuk saling menghubungi.
Tahun ini sejenak kita tinggalkan tradisi mudik. Tidak apa-apa. Memang berada di tengah-tengah keluarga, berkumpul bersama saat lebaran adalah yang paling menyenangkan. Tapi tahun ini unik, kita belajar bagaimana lebaran orang-orang yang hidup sendiri, jauh dari keluarga atau tak punya keluarga lagi.
Tahun ini kita tidak sholat Id di Mesjid. Tidak ada takbiran keliling. Terasa lebih sepi dari sebelumnya. Tak apa-apa. Ini tetap lebaran. Sholatnya tetap diterima Tuhan. Apakah nilainya berkurang? Tidak, malah mungkin nilainya bertambah. Lebaran tahun ini unik karena kita dituntut untuk mengendalikan diri.
Tahun ini cerita lebaran kita tak seperti tahun sebelumnya. Jika kita ceritakan ke anak cucu kita, mereka mungkin akan mendapat cerita yang hampir sama setiap tahunnya. Tapi tahun ini kita akan mewariskan cerita lebaran yang berbeda, yang mungkin anak cucu kita kelak tidak akan mengalaminya. Tapi kita akan bangga menceritakannya, bahwa dulu kita pernah menjalani Ramadhan dan Lebaran yang berbeda.
Pengalaman lebaran yang belum tentu akan dialami oleh generasi sesudah kita. Kita beruntung bukan? Cerita lebaran kita berbeda dari biasanya. Selamat lebaran, Lebaran yang unik.
BTW, siswaku kirim pesan lagi, dia sudah menyisakan kue lebarannya untuk saya. Dia simpan, supaya tidak habis. Lebaran yang unik bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H