Tahun ini kita tidak sungkeman. Tidak apa-apa. Nilainya tak akan hilang, sebab tulusnya maaf bukan persoalan apakah kita bersujud mengucapkannya, tapi bagaimana hati kita menyesali kesalahan dan mengharapkan perubahan sikap kita yang kurang berkenan. Lebaran tahun ini unik, kerena kita belajar mengucapkan maaf dari jarak yang jauh, namun tulusnya hati tak tertutupi. Unik karena kita saling berlomba untuk saling menghubungi.
Tahun ini sejenak kita tinggalkan tradisi mudik. Tidak apa-apa. Memang berada di tengah-tengah keluarga, berkumpul bersama saat lebaran adalah yang paling menyenangkan. Tapi tahun ini unik, kita belajar bagaimana lebaran orang-orang yang hidup sendiri, jauh dari keluarga atau tak punya keluarga lagi.
Tahun ini kita tidak sholat Id di Mesjid. Tidak ada takbiran keliling. Terasa lebih sepi dari sebelumnya. Tak apa-apa. Ini tetap lebaran. Sholatnya tetap diterima Tuhan. Apakah nilainya berkurang? Tidak, malah mungkin nilainya bertambah. Lebaran tahun ini unik karena kita dituntut untuk mengendalikan diri.
Tahun ini cerita lebaran kita tak seperti tahun sebelumnya. Jika kita ceritakan ke anak cucu kita, mereka mungkin akan mendapat cerita yang hampir sama setiap tahunnya. Tapi tahun ini kita akan mewariskan cerita lebaran yang berbeda, yang mungkin anak cucu kita kelak tidak akan mengalaminya. Tapi kita akan bangga menceritakannya, bahwa dulu kita pernah menjalani Ramadhan dan Lebaran yang berbeda.
Pengalaman lebaran yang belum tentu akan dialami oleh generasi sesudah kita. Kita beruntung bukan? Cerita lebaran kita berbeda dari biasanya. Selamat lebaran, Lebaran yang unik.
BTW, siswaku kirim pesan lagi, dia sudah menyisakan kue lebarannya untuk saya. Dia simpan, supaya tidak habis. Lebaran yang unik bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H