Dalam kancah internasional pun Indonesia berperan aktif dalam menerapkan sila kedua Pancasilanya. Namun kita belum menjadi penggagas atau yang terdepan dalam kegiatan ini. Indonesia boleh ikut berperan, namun adakah kita benar-benar diperhitungkan dalam penegakan kemanusiaan dunia? Di dalam negeri pun penegakan prinsip kemanusiaan masih sering berbenturan.Â
Hak dan kewajiban sering berbenturan. Hak seseorang bisa melanggar hak orang lain. Keutamaan satu pihak, sering mengabaikan keutamaan pihak lain. Minoritas terabaikan oleh kepentingan mayoritas, dalam hal apa pun.
Apa yang salah dari proses kebangkitan kita? Pertama, kurangnya kesadaran. Kesadaran pada apa? Kesadaran pada kebangkitan itu sendiri. Kita kurang sadar untuk bangkit. Kita merasa kurang perlu bangkit, atau bahkan merasa kita sudah bangkit sehingga tak perlu bangkit lagi.Â
Korupsi meraja lela, seolah tak bisa ditumpas, terjadi karena pelaku tak merasa sadar dampak dari perbuatannya merugikan negara dan masyarakat. Kita belum memiliki jiwa patriotis, berani menolak korupsi walau harus mengirit diri sebatas gaji.
Kedua, kita belum jadi pelopor. Budi Utomo menjadi pelopor Kebangkitan Nasional, hingga kini setelah 112 tahun, buah perjuangannya masih kita nikmati. Indonesia punya sekitar 267 juta jiwa penduduk, jika setengah saja bisa memelopori kebangkitan dimulai dari diri sendiri, dalam lingkup yang sangat kecil; keluarga, tempat bekerja, lingkungan maka tak perlu 112 tahun untuk menikmati hasil kepeloporan kita.
Ketiga, kita belum bersatu. Sila ketiga Pancasila adalah Persatuan Indonesia. Mengapa kebangkitan kita begitu lambat? Kita belum bersatu untuk bangkit. Kita mungkin bangkit untuk tujuan kita masing-masing.
Hingga tujuan bangkit kita mungkin menumbangkan kebangkitan orang lain. Lalu orang lain ingin bangkit menjadi enggan karena melihat kebangkitannya akan dihambat oleh kebangkitan pihak lain. Kebangkitan kita belum menemukan irama. Belum menjadi pola yang teratur.
Keempat, kita masih terlena dalam mimpi. Siapa yang tak pernah bermimpi? Siapa yang tak punya mimpi? Namun banyak yang hanya bermimpi dan tak mewujudkan mimpi-mimpinya.Â
Apakah kita pernah bermimpi tentang negara kita? Kebanyakan mimpi kita adalah tentang diri kita. Lalu, siapa yang memimpikan kemajuan negara ini? Kalau tidak ada, lalu siapa yang akan mewujudkan mimpi akan negara itu? Akhhhh, biarlah negara ini yang memimpikan dirinya sendiri.
Saatnya kita untuk bangkit. 112 tahun terlalu lama untuk menunggu. 112 tahun akan menjadi terlalu tua untuk menunggu kita memberi perubahan. Saatnya kita berubah dari pola pikir kita yang lama.Â
Saatnya menjadi patriot yang mengutamakan kemajuan negeri ini. Tidak lagi mementingkan kepentingan sendiri. Politik harus patriotis, negara menjadi tujuan utamanya, bukan rebutan kursi. Saatnya untuk berhenti.