Pernah merasakan kebangkrutan bukan mudah untuk bangkit kembali. Akan tetapi, Monika Susanto, seorang pebisnis kuliner asal Bandung yang masih muda ini justru sangat kuat dan anti menyerah.
Terus terang, saya iri, dalam arti positif, terhadap orang-orang yang sejak muda lagi sudah bisa bisnis dan kemudian sukses. Memang tak bisa dipungkiri, rerata mereka yang bisnis di usia muda kalau memang bukan karena bakat, pasti terinpirasi dari keluarga. Hampir sama lah, dengan keluarga dokter maka anaknya menjadi dokter juga. Atau ada keluarga pedagang kain yang mewariskan usahanya pada sang anak untuk diteruskan dan jadi besar.
Dengan latar belakang keluarga ayah seorang pekerja dan ibu rumah tangga, saya nyaris tak pernah bersentuhan dengan bisnis. Sampailah sekarang sudah beranak tiga, saya pernah beberapa kali berganti usaha bisnis rumahan.Â
Awal mula bisnis simpel saja, ingin cari kegiatan dan penghasilan tambahan, tetapi tetap berada di rumah.
Berbeda dengan Monika. Dia memang lahir dari seorang ayah yang pebisnis usaha peternakan ayam yang sudah berjalan 30 tahunan di Kota Cianjur, Jawa Barat. Dukungan bisnis dari keluarga pun punya peranan untuk kelanjutan bisnis Monika.Â
Akan tetapi, kalau Anda ikuti cerita di sini hingga tuntas, maka Anda akan tahu bahwa bisnis perlu modal menyeluruh: finansial, kemampuan managerial, ulet, inovasi, dan kerja keras.
Bahkan, ketika orang lain di kala pandemi Covid-19 menderita, Monika justru membuka bisnis barunya dan bisa membantu banyak orang lewat program reseller yang dia tawarkan.
Awal kali Monika Susanto adalah memilihnya karena sesuai dengan passion atau kegemaran. Suka makan, suka jajan, dan suka tantangan adalah modal awal mendasari ragam bisnisnya. Sejak kecil lagi, dia sudah bilang pada kedua orang tuanya ingin punya restoran suatu hari nanti.
Oleh karena itu, selepas kuliah di Hongkong pada tahun 2018, Monika pun membuka sebuah usaha kuliner bertemakan makanan China, resep keluarga, dengan nama dagang Tiny Dumpling. Sayangnya, dalam setahun usaha, Monika gagal total.
Mengetahui anaknya bangkrut, ayah Monika hanya bertanya padanya, "Mau menyerah atau mau belajar dan kembali dengan lebih kuat?" Mendapat tantangan seperti itu, Monika tentu malah merasa tertantang.
Akan tetapi, kali ini dia pun sadar diri untuk bebenah dan tidak sembarangan. Dia evaluasi apa saja yang menjadi kekurangan dan kesalahan setahun ke belakang.Â
*Inspirasi tulisan ini berasal dari sebuah bincang Webinar mengenai Cara Memulai Bisnis Kuliner dari Youtube Rumah Teh Iin (Kamis, 23 Juni 2022)
Beberapa hal yang Monika sadari salah adalah dia masih sangat belia dalam bisnis, baru pulang kuliah tak punya kawan, idealis, dan tidak tahu apa kemauan konsumen. Akibatnya, konsumen tak senang dan ada yang menuliskan ulasan buruk mengenai dagangannya.
Selepas bangkrut, Monika pun kemudian melakukan riset pasar, kira-kira target marketnya butuh apa, dan senang makanan bagaimana. Dia bertanya hal ini kepada pelanggan yang sudah tetap, kolega, dan teman.
Akhirnya, dia pun membuat branding baru dan menata ulang menu disesuaikan dengan hasil riset tadi. Pada tahun 2019, Halo Hongkong Cafe berdiri. Menunya terinsprasi dari comfort food atau menu jajanan yang kekal dalam ingatan saat berada di Hongkong.
Tanpa diduga, konsumen bisa menerima. Hanya sayangnya, kemudian pandemi melanda. Saat itulah ujian bagi Monika kembali datang. Dia harus putar otak supaya bisa memenuhi, setidaknya, biaya karyawan meskipun restoran tutup total.Â
Pada saat pandemi tersebut ada ide menjual dimsum beku dan minuman kopi botolan. Uniknya, ide minuman kopi botolan datang dari karyawannya. Diakui Monika, kedekatan dia dan karyawan erat sehingga ada rasa memiliki dan ingin tumbuh bersama dengan membuka peluang memberi ide.Â
Tak disangka, justru sekarang minuman kopi ini menjadi salah satu andalan Halo Hongkong Cafe dengan punya divisi sendiri. Sudah mulai dibuka restoran untuk makan di tempat pun membawa angin segar bagi bisnisnya. Dalam keadaan transisi menuju endemi, Halo Hongkong Cafe akan membuka satu cabangnya di salah satu daerah di Bandung.
Bukan hanya itu, masa pandemi justru membawa berkah bisnis baru. Ketika bosan menunggu di rumah saja, kegiatan Monika beralih ke jualan telur retail. Dia mengalami masa membungkus telur satu per satu. Kalau selama ini, usaha ayahnya lebih kepada penyedia ayam bagi industri maka Monika membuka peluang perluasan pasar.Â
Dalam perjalanannya jualan retail, banyak konsumen meminta telur Omega atau kampung karena dinilai lebih menyehatkan.
Menangkapnya sebagai peluang bisnis baru, insting kuat Monika mengajak ayahnya memproduksi sendiri pakan yang sesuai untuk ayam petelur omega. Monika benar-benar lakukan uji lab terhadap semua keabsahan makanan sesuai ketentuan yang berlaku karena tegakkan kejujuran dalam berbisnis.
Hingga saat ini, usaha telur curah Omega ini masih berjalan dan sudah diberi label Eggcelent.
"I love to make people happy from the food I created."
Hampir selesai pandemi, Monika Susanto launching produk baru.
Sebenarnya sudah sejak tahun 2017, keluarga mereka membangun sebuah produk yang inginnya akan jadi kebanggaan keluarga dan akan dibawa mendunia. Produknya bernama Coco Nico, sebuah olahan jus kelapa.Â
Alasan awalnya sangat sederhana karena kelapa itu adalah buah yang mahal jika dijual di luar negeri. Harganya bisa mencapai puluhan hingga ratusan ribu di negara lain. Sedangkan, di Indonesia, kelapa adalah buah yang sangat melimpah dan harganya pun sangat murah.Â
Bahkan, ada sebuah fakta lucu dan menarik, suatu ketika ada atlet asal China kedapatan sedang mengonsumsi minuman santan kemasan asli Indonesia. Dikatakan oleh si atlet, minuman itu sangat enak, bermanfaat, dan murah. Kalau santan untuk masak saja bisa diminum dengan mudah, apalagi kalau memang dikemas dengan baik dan rasanya enak.
Sampai saat ini, Coco Nico sebagai produk yang terbaru memang sedang diperkuat dari sisi promosi dan penjualan. Salah satu strategi penjualan adalah lewat model keagenan atau reseller.
Terus berkembang dan menguat itulah yang Monika Susanto lakukan sekarang. Memang rasanya beruntung jika bisa punya kesempatan finansial untuk bisa kembangkan bisnis. Namun, percayalah, tanpa lihai dan ulet tidak mungkin sebuah bisnis akan bertahan. Mau sampai kapan bekal finansial harus didukung terus?Â
Saya jadi teringat beberapa waktu lalu mengenai tumbangnya para startup lokal karena sistem keuangan yang mengandalkan dana investasi secara terus menerus. Pada akhirnya, hal itu tidak bisa mendukung kelangsungan usaha. Usaha tak hanya karena modal melainkan juga ulet dan kerja keras.Â
Dan Monika Susanto bisa mainkan semua aspek kelebihan yang dia miliki dengan sangat baik sehingga mampu hidup kuat di bisnis kuliner ini meski ada terpaan pandemi Covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H