3. Les Anak
Sewaktu pandemi Covid-19 baru mulai, siapa sih, yang enggak kesal karena les-les anak harus berhenti. Dulu anak-anak di rumah rutin berenang dua-tiga kali seminggu. Begitu pandemi melanda, terus terang kami tak berani lagi lakukan meski katanya aman.
Ada satu lagi les bahasa Inggris yang mengharuskan tatap muka dua kali seminggu pun jadi online. Dulu sih, kesal banget berasa tidak sepadan dengan harga les yang dibayar.Â
Namun, beda dulu beda sekarang.Â
Sebagai orang yang memang demen di rumah, ternyata ada sisi mager karena terbiasa sehingga kalau aktivitas bisa online mengapa kudu offline. Di beberapa aktivitas memang tak bisa diterapkan, seperti basket, renang, dan olah raga lain. Akan tetapi, tentunya mafaat dan tujuannya berbeda.
Beberapa aktivitas yang tidak memerlukan mobilitas dan gerak tubuh, saya masih pertimbangkan online di keadaan tertentu. Apalagi nih, kalau cuaca tak menentu, semisal hujan dan badai. Sudah bisa dipastikan, saya akan mager di rumah.
Kira-kira, ada Teman yang serupa dengan saya?
Manusia adalah mahluk yang sangat adaptif. Nyatanya di awal Covid-19 hadir, semua merasa berat dan menolak berada di rumah. Saya juga agak panik merasa bakalan bosan berada di rumah saja. Ada yang berhasil dalam proses adaptasi ini ada yang tidak. Saya bisa bangga berhasil, meski sangat tidak mulus jalannya.
Turun naik emosi sudah bisa. Kadang semangat, sering juga bosan melanda. Namun, nyatanya manusia itu perlu menyesuaikan diri dengan keadaan selama hidupnya. Tak selamanya hidup seperti yang dia mau. Menjelang akhir pandemi, saya pun kembali beradaptasi keluar rumah rutin antar jemput anak. Saya siaga lihat jam supaya bisa jemput anak on time. Saya kemudian sesuaikan kembali jadwal masak, kerja, beres-beres dengan antar jemput keluar rumah.
Well, akhirnya saya pun hanya bisa menerima dan berdoa agar diberi kesehatan dan kelancaran di semua aktivitas. Goal-nya keluarga bahagia dan rukun sudah cukup saat ini.
Semangat selalu adaptasi tanpa henti, Teman!