Mohon tunggu...
Sari Agustia
Sari Agustia Mohon Tunggu... Penulis - IRT, Penulis lepas

Tia, pangillan akrabnya, menekuni menulis sejak tahun 2013 sampai sekarang. Sebuah karyanya, novel Love Fate, terbit di Elex Media Komputindo pada tahun 2014. Saat ini aktif menulis bersama beberapa komunitas dan Indscript Creative

Selanjutnya

Tutup

Film

Yuni, Kesetaraan Hanya Mimpi Belaka

15 Mei 2022   20:59 Diperbarui: 15 Mei 2022   21:22 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kesetaraan Gender (desain pribadi Canva)

Ketika mimpi dibenturkan pada norma adat, sikap intimidatif dan setara tidak akan pernah didapat.

Sebetulnya saya pernah sedikit melihat ulasan seseorang yang pernah menonton film "Yuni" ini. Dari ulasannya, saya tahu kalau ini film yang perempuan banget. Dari awal sampai akhir konflik perempuan memang mendominasi.  

Film ini mengambil latar tempat daerah Cirebon dan sekitarnya. Saya memprediksi dari bahasa dan logat daerah yang dituturkan oleh tokohnya. Sepanjang film, tokoh bertutur gabungan bahasa Jawa dan Sunda, ditambahkan dengan imbuhan "je". Untungnya ada subtitle di filmnya, kalau tidak ada  banyak juga percakapan yang saya tidak paham.


Menurut saya, film ini bukan film keluarga yang santai. Pesan moral film dikemas dalam alur cerita yang cukup berani dan vulgar, bahkan ada adegan hubungan intim muda mudi. Meski demikian, jika merasa anak kita sudah bisa diajak diskusi dan cukup usianya, bisa menjadi sarana baik untuk edukasi perilaku seksual.

Inti cerita yang saya tangkap adalah bahwa perempuan bagaimana pun majunya zaman saat ini tidak bisa mendapat kesetaraan. Masih ada stigma perempuan hanya bisa memuaskan napsu lelaki (suami) karena itu tak layak sekolah tinggi dan mengapai mimpi.

Yuni adalah anak kelas 3 Madrasah Aliyah, setara SMA. Ia tinggal dengan neneknya karena kedua orang tuanya bekerja di Jakarta. Yang menarik, hubungan Yuni dengan ayah ibunya ini sangat apik meski tidak serumah. Saya cukup tersentuh dengan hubungan mereka dan akan saya jelaskan lebih lanjut nanti.

Besar di kampung, Yuni mengalami kegundahan apa akan meneruskan kuliah, bekerja, atau menikah. Opsi yang terakhir ini tentunya jika ada yang melamarnya. Nah, opsi yang terakhir ini justru konflik utama si tokoh Yuni. Ada banyak lelaki ingin menikahinya.

Sejak scene pertama, penonton langsung akan melihat kemolekan Yuni dan memastikan bahwa dia adalah kembang di desanya. Yuni dikelilingi lelaki-lelaki pengagumnya yang punya sederetan keunikan. Di situlah justru cobaan bagi Yuni. Dia mau pilih lelaki yang mana dari sekian yang tidak sempurna. 

Uniknya, meskipun berkali-kali ada pria yang melamar, keluarga Yuni tidak pernah memaksa. Rasanya lain sekali dengan keluarga kampung pada umumnya. Nenek Yuni saja digambarkan cukup nyentrik. Meski rajin sholat dan berjilbab, kebiasaannya karaoke dan merokok pasti terlihat kontras dengan penampilannya itu. 

Yuni pun meski bersekolah dengan menggunakan jilbab, tetapi tidak menggunakannya di lain kesempatan. Lingkup pertemannya juga "tidak biasa". Ada isu LGBT, minuman keras, dan dunia malam yang diangkat di film sebagai gambaran realita hidup Yuni.

Isu pernikahan dini dan seks sebelum menikah juga diangkat dengan apik. Isu ini menurut saya memang diungkapkan terbuka, tetapi tidak vulgar. Mungkin  akan berbeda pendapat, untuk itulah sekali lagi, pastikan jika menonton dengan anak, dia sudah siap menghadapi cerita seperti ini.

Dunia anak muda, SMA, meski berada di kampung, digambarkan sudah terbuka dengan informasi seksual. Kejadian hamil di luar nikah seakan jadi hal yang biasa di sekitar Yuni dan teman-temannya. Bahkan, ada adegan para gadis itu berdiskusi soal malam pertama dan orgasme.

Yang paling menarik, justru adalah hubungan orang tua dengan Yuni. Mereka begitu suportif dan mesra dengan Yuni. Ada momen Yuni disuapi dan tidur di bawah ketiak ibunya. Serta, momen Yuni mengobrol tentang isu LGBT dengan ayahnya. Dan semuanya terlihat sangat adem dan damai meski mereka digambarkan bukan orang berkelas dan berpendidikan tinggi.

Setelah melihat hubungan Yuni dan keluarganya itulah, saya tidak aneh ketika mendapatkan akhir kisah Yuni sebagaimana di film. Yuni punya kemampuan memilih meski mungkin bukan yang terbaik. Namun, dia yakin bahwa kedua orang tuanya akan tetap sayang padanya. 

Bisa berkedudukan setara itu sulit terutama jika kita berada di lingkungan yang memang kurang paham. Namun, bukan mustahil jika kita berusaha dan dapat dukungan dari orang terdekat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun