Mohon tunggu...
Sari Azis
Sari Azis Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis. Alumnus Fisip Universitas Mulawarman Samarinda. LPTB Susan Budihardjo Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penjahit Kehidupan

26 Mei 2024   17:02 Diperbarui: 7 Juni 2024   21:09 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Daku tak bisa berkata-kata lagi. Karena tiga hari lalu Aini baru saja menangis histeris meneleponku. Minta dikirimi uang karena dia diusir  sang anak dari rumahnya sendiri. Aini teman semasa kuliah. Ia janda dua anak. Suaminya meninggal. Anak sulungnya menikah dengan orang Norwegia dan menetap di sana. Tak pernah pulang ke Indonesia. Jarang mengirimi Aini uang. Anak bungsunya kecanduan judi online. Nyaris tak tersisa harta peninggalan suami Aini selain rumah itu. Hingga si anak nekad menjual rumah mereka untuk membayar hutangnya di pijol. Dan Aini terlempar di penginapan murah sampai uangnya habis dan menelepon beberapa teman termasuk aku untuk minta belas kasihan. Jadi, apakah nasib Aini sebaik ibu penjahit ini? Jangankan merawat, anak-anaknya malah lepas tangan semua. Sekarang Aini hidup berpindah-pindah. Sebatang kara. 

"Mbak, kalau di jalan ketemu laki-laki, nikahi aja, mbak. Pasti banyak yang mau sama mbak." ujar ibu penjahit.

Astaga!

"Saya datang dari desa. Di desa saya perawan yang sudah lewat remaja belum menikah dibakar. Dianggap bawa aib."

Nah lo!

 Di sini aku sadar. Sepertinya aku ngobrol dengan seseorang yang mungkin kadar intelektualitasnya nggak balace. Entah dia jujur entah dia membual. Sepertinya kalau membaca berita di desa terpencil sekalipun tak ada perempuan lajang dibakar hanya karena dia belum menikah. Kalaupun ada yang dihukum entah diapakan jelas karena berzinah atau membunuh. Entahlah apa yang ada dipikiran ibu penjahit ini yang usianya sepuluh tahun dibawahku. Mungkin dia punya beban hidup yang aku nggak tahu. Tapi mungkin dia memang bersyukur dengan hidup seperti yang diakatakan padaku. Akupun senang mendengarkan. Betapa membanggakan suaminya yang pengangguran tapi sigap menemani ia setiap hari mencari nafkah dengan menjahit dijalan. Memindahkan tubuhnya ke kursi roda ke dipan ke lantai. 

"Jangan cari suami karena harus kaya raya tapi nggak punya ahlak, mbak. Hidup ini ibadah. Menikah itu ibadah. Jangan pilih-pilih. "

Kemudian ibu itu menyerahkan jaket yang sudah selesai diganti resletingnya. 

"Berapa, mbak?" tanyaku, sopan.

"Dua puluh ribu." sahutnya.

Kuselipkan uang lima puluh ribu ditangannya. " Ambil aja, mbak. Nggak usah dikasih kembalian."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun