"Biar kita tetap seperti ini saja. Matahari dan hujan hanya sesekali bertemu, tetapi saat pertemuan itu terjadi, warna-warna eksotis tercipta dan pendarnya disimpan pada setiap hati yang memandangnya. Baiklah kita rasa simpan ini dalam dimensi yang berbeda."
(Aruna dan Barsha, 121217)
***
"Sudah berangkat?" tanya Aruna lewat sambungan telepon, "ini akan jadi pertemuan kedua kita, Sha. Maaf, Aku tak akan memanggilmu kakak!" lanjut lelaki itu, dan mengakhiri pernyataanya dengan sebuah kecupan di layar ponselnya.
"Sudah di stasiun, akan segera berangkat!"
Perempuan berbaju kotak-kotak dari bahan flannel itu menyahut. Pikiran Barsha melayang pada dua puluh bulan silam, saat pertemuan yang berakhir dengan romantisme sesaat terjadi.
'Sudah dua puluh bulan, Aruna. Aku tak pernah bisa melupakanmu,' batinnya nelangsa.
***
Aruna kembali mengecek jadwal kedatangan kereta Ranggajati di Stasiun Balapan dari Cirebon, lewat ponselnya. Dia khawatir terlambat menjemput Barsha, perempuan yang sepuluh tahun  lebih tua darinya. Barsha, perempuan itu merajai seluruh ruang hatinya, bukan hanya karena peristiwa dua puluh bulan lalu, tapi benih-benih cinta yang muncul dalam hatinya. Dari semalam, Aruna hampir tidak dapat tidur karena desakan rasa rindu pada perempuan yang lebih pantas disebut kakak itu.
Jam di tangan kirinya menunjuk pada angka sebelas lebih tiga puluh enam menit, dari ruang informasi sudah terdengar pemberitahuan kereta dari Cirebon akan segera tiba. Aruna berdiri, dan melangkah menuju pintu kedatangan. Lelaki dengan rambut sebahu itu ingin Barsha segera melihatnya saat turun dari kereta.
Tak sampai dua puluh menit, ponselnya kembali berdering. Panggilan dari Barsha.
"Kau di mana?" Suara yang selalu dirindukan itu terdengar semakin merdu, membuat jantungnya berdetak makin kencang.
"Tepat di pintu keluar, Sha."
***
"Sudah pesan hotel?" tanya Aruna memecah keheningan.
Setengah jam mereka hanya saling diam, sesekali helaan napas terdengar menyela kesunyian yang memerangkap mereka. Di dalam city car yang membawa mereka keluar dari Solo Balapan, menuju selatan kota Solo.
"Belum," jawab Barsha lirih.
 "Acara jam berapa, Sha?" tanya Aruna lagi.
"Masih besok," sahut perempuan itu, "aku lapar."
Aruna terbahak, tangannya menepuk lembut bahu perempuan itu. Sesaat dia merasakan tubuh Barsha bergetar.
 "Kita ke Paragon? Atau Kau mau ke warung biasanya?" tanya Aruna.
"Aku pengin mi yang dulu Kau ajak Aku ke sana." Barsha mengerjapkan mata tiba-tiba yang terasa perih, "bisa?"
"Apa pun kulakukan untukmu, Sha!"
Aruna memutar balik mobilnya, kemudian dia memacu mobil kecil itu ke arah selatan, menuju daerah Kartopuran.
***
Warung bakmi toprak Yu Nani tidak begitu ramai, mungkin karena waktu makan siang sudah lewat. Hanya beberapa pengunjung saja yang duduk di bangku warung. Barsha, menikmati sepiring mi dengan diam, batinnya bergejolak. Rasa yang entah menyelimuti hati perempuan di akhir tiga puluhan itu.
"Adi Wangsa atau Paragon? Aku tadi mengajakmu makan di Paragon agar Kau segera rehat, Sha," ucap Aruna.
 "Hotel yang lebih dekat ada nggak? Aku lelah," sahut Barsha.
"Ada, tapi spesifikasinya di bawah standarmu yang biasanya. Mau?"
"Apalah itu, Aku hanya ingin tidur sekarang, di kereta Aku tidak bisa tidur," tukasnya.
 ***
bersambung) Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI