Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pahlawanku, Pelita di Perkebunan

18 Agustus 2019   08:38 Diperbarui: 18 Agustus 2019   08:44 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari masih gelap, tapi warga desa sudah berbondong-bondong pergi ke perkebunan teh. Sebelum matahari terbit mereka harus memetik teh sebanyak-banyaknya agar mendapatkan pucuk teh dengan kualitas yang terbaik, sehingga dihargai tinggi ketika ditimbang oleh mandor Sukri.

Begitu pula dengan keluarga Supomo, lelaki itu bersama istri dan ketiga anaknya yang seharusnya masih bersekolah bergegas ke perkebunan. Mereka bekerja sampai jam sembilan pagi. 

Setelah memetik teh, mereka akan membawa hasil petikannya ke penimbangan dan menukarkan hasil petikan mereka dengan beberapa lembar rupiah.

Lestari, Asmara, dan Citra belum bersekolah dikarenakan biaya yang tidak dipunyai orangtuanya. Ketiga anak itu sering merasa sedih saat melihat anak lain berbaris dengan seragam melewati perkebunan. 

Namun apa daya, keadaan ekonomi yang memaksa mereka menelan segala keinginan. Pak Supomo bukan tidak tahu apa yang dipikirkan anaknya, tapi upah sebagai buruh petik teh bahkan kadang kurang untuk kehidupan sehari-hari.

***

"Bu Siska, nanti Ibu akan tinggal di sini dengan seorang asisten rumah tangga, " kata Pak Bayan pada calon dokter yang ditempatkan di dusun mereka.

***

Dusun Pandan adalah salah satu dusun penghasil teh terbaik di pulau Jawa. Hamparan perkebunan dengan harum khas dapat tercium sejak masuk di gapura pembatas antar dusun. Di dusun ini sudah lama tidak ada fasilitas kesehatan, tepatnya tidak ada petugas kesehatan yang menempati puskesmas pembantu di ujung dusun. Saat ada kabar adanya petugas yang bersedia ditempatkan di sini, Heru, Bayan dusun ini langsung membersihkan dan merenovasi gedung pustu dan rumah dinas agar segera bisa ditinggali saat petugas datang.

***

"Nanti malam selepas Isya akan ada perkenalan dengan Ibu di balai kampung, silakan Ibu beristirahat dulu sambil menunggu Mbak Parti, asisten Ibu datang. Dia sudah tinggal sendiri sejak suaminya meninggal dan sebelumnya bekerja pada saya." ujar Pak Heru.

Siska menganggukkan kepala seraya tersenyum. Dia memasuki rumah dinas danendapati perabot kuno tapi bersih dan cat dinding yang baru, aromanya masih sedikit menyengat.

"Mari masuk dulu, Pak!" serunya pada Heru yang berdiri di teras.

"Nggak usah, Bu. Saya pulang saja agar Ibu dapat beristirahat, besok pasti sudah sangat sibuk." sahut Heru.

***

Tak terasa sudah enam bulan Siska bertugas di dusun Pandan. Hatinya miris melihat fenomena anak-anak perempuan yang tidak bersekolah karena kendala ekonomi. Beberapa waktu lalu dia mengkonsultasikan pada Pak Bayan untuk membuka sekolah darurat yang tidak berbayar. Waktu belajarnya sore hari selepas Ashar sampai menjelang Magrib. Tapi ternyata tidak mudah mengalahkan paradigma penduduk yang menganggap pendidikan buat anak perempuan sangat tidak penting. Toh mereka juga akan menjadi ibu rumah tangga saja.

Siska juga bekerja sama dengan tim penggerak PKK untuk memberikan pelatihan ketrampilan pada ibu-ibu untuk menambah penghasilan keluarga. Tapi lagi-lagi kendala yang dialaminya berasal dari kaum bapak yang merasa dirampas superioritasnya atas keluarga. Hingga satu saat Siska digelandang ke Balai Kampung untuk dihakimi.

Satu persatu bapak-bapak mengutarakan keberatan dengan adanya jam belajar dan pelatihan ketrampilan yang diadakan Siska.

"Sekarang istri saya lebih sering memegang jarum daripada mijitin saya!" teriak mas Bono lantang dan diamini seluruh bapak.

"Rumah saya isinya potongan-potongan kain nggak berharga, apalagi anak saya jadi malas nyari rumput buat pakan kambing," timpal Lik Warto.

"Tugas Bu Siska itu dokter, nggak usah merembet sok jadi guru!" seru Pakdhe Roso.

Pak Bayan menghela nafas panjang sebelum angkat bicara.

"Bapak-bapak sekarang tolong semua tenang dulu, kita dengar  penjelasan Bu Siska mengapa dia melakukan ini."

Siska merapikan roknya yang kusut.

"Bapak-bapak, sebelum saya mau bercerita sedikit. Saya adalah anak seorang pemulung, Ayah saya punya impian yang besar agar saya mempunyai masa depan yang baik. Saya juga seperti anak-anak Bapak rindu bisa sekolah tinggi, tapi keadaan ekonomi kami sangat tidak memungkinkan. Kemudian seorang yang dikirim Tuhan menjadi penolong bersedia menyekolahkan saya dengan syarat harus bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumahnya."

Siska mengedarkan pandangan ke seluruh sudut balai kampung, dia melihat satu persatu wajah yang berubah serupa Bapaknya yang sudah meninggal menyusul Ibunya dua tahun lalu.

"Pak, saya bekerja keras untuk mencapai posisi sekarang. Pak Rudy yang membantu pendidikan saya menyuruh saya bekerja agar tahu bagaimana hidup penuh perjuangan. Bapak Ibu kandung saya sudah meninggal, tapi alhamdulillah saya berhasil membuat Bapak tersenyum yang saat itu sakit dengan mempersembahkan ijazah kedokteran yang saya raih. Dan apakah Bapak tahu? Menolong orang yang senasib dengan saya dulu, itu yang diminta Pak Rudy saat saya menanyakan balasan apa yang bisa saya berikan."

Air mata mengalir deras di pipi Siska saat menceritakan pengalaman hidupnya. Penduduk yang mendengarkan ikut terharu, bahkan beberapa menyusut sudut matanya yang membasah.

"Saya hanya bertugas selama dua tahun di dusun ini. Tapi izinkan saya selama dua tahun ini membawa anak-anak ke masa depan yang lebih baik. Dan izinkan saya ikut berpartisipasi dalam mengembangkan ekonomi kreatif dusun ini dengan mengajarkan ibu-ibu ketrampilan. Sudah ada beberapa kawan saya di kota yang bersedia memasarkan hasil karya para ibu di outlet mereka." ujar Siska

Suara-suara para bapak yang mulai terbuka paradigmanya berdengung memenuhi ruangan. Pak Bayan tersenyum mendapatkan perubahan air muka para bapak yang sudah bisa menerima alasan Siska melakukan semua itu.

"Kita bekerja sama ya, Pak! Saya dan Bu Siska membutuhkan dukungan dari kalian!" kata Pak Bayan menutup pertemuan.

"Oya, kalau bisa Bu Siska selamanya saja di dusun kita dan kalau bisa lagi menikah dengan pemuda dari dusun kita. Ya nggak, Bapak-Bapak?"

Ruangan itu riuh dengan tawa dan seruan setuju. Siska tersipu malu, hatinya bahagia ada harapan baru di tengah perkebunan yang sudah tertidur puluhan tahun dengan paradigma yang salah.

#poeds 101118

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun