Mereka juga tidak melihat kain hitam penutup saat pelakon berganti adegan, terakhir kali diganti dua puluh tahun yang lalu. Sudah lapuk dan penuh jahitan dengan benang yang berbeda warna.
Belum lagi kabel pengeras suara sudah banyak yang putus, sementara mereka memamerkan sejumlah dana pembeli baju dan sekotak nasi.
Seorang di antara mereka berteriak atas nama kesempurnaan dalam berkarya. Seorang lainnya menimpali teriakan itu dengan tinju di bawah mata.Â
Bersitegang saling memaki dan melempar kursi. Bukan hanya satu yang berkelahi, sekelompok manusia berseni  itu membelah jadi dua kutub yang saling menolak.
"Cih!"
Aku mencibir mereka. Menghina busuknya akal yang tertutup oleh keinginan terkenal semata.Â
Melupakan kepantasan yang seharusnya dipegang teguh oleh mereka yang mengaku lahir dengan darah yang berirama.
Semua sudah pergi malam ini, meninggalkan bekas-bekas kehadiran mereka dan aku tidak berharap mereka kembali untuk membersihkan tubuhku. Biar saja menjatah jatah tikus got yang menyeret sampah mereka.
Aku hanya ingin tertawa melihat punggung mereka bengkok menahan beban dari sebuah pementasan yang dipastkan gagal karena berbeda pandangan.
"Emang  enak gagal orgasme dalam onani seni yang terlalu dini!" Mataku bersinar melihat mereka pergi dengan segala luka dan harga diri yang patah.
Ini aku, panggung seni yang dulu pernah megah. Tempat para pelakon lampiaskan konak dan kemarahan dengan menjunjung citra diri.