Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[KSA] The Secret Behind The Stage

31 Juli 2019   13:27 Diperbarui: 31 Juli 2019   13:33 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lampu-lampu sorot belum padam. Namun, satu per satu manusia yang singgah mulai melangkah pergi. Aku dilupakan, ditinggalkan, dan kesepian.  Aku tidak pernah tahu, mengapa mereka yang menjuluki diri sebagai seniman tidak lagi mencintaiku?

 Seperti malam kemarin, sekelompok manusia duduk di atasku. Mereka berbincang tentang rencana demi rencana menggunakan tubuhku sebagai alat keruk uang. Dari tingkat RT hingga antar planet atau lintas galaksi.

"Lumayan jumlah uang yang dijanjikan pemerintah daerah untuk pentas kita nanti." Lelaki berambut gondrong itu mengelus telinga kirinya dengan wajah tak bersalah.

"Aku tidak peduli dengan berapa banyak besaran dana yang digelontorkan. Bagi aku, lebih penting budaya tidak dicabut dari  akarnya," timpal seorang perempuan gempal yang bermulut lebar.

"Sudahlah, kali ini kita turuti saja kemauan yang membayar kita!" sergah lelaki burung hantu itu lagi, diikuti para beo bermata hijau, membayangkan lembar  kertas merah yang segera menghuni saku celana mereka yang sebulan tak dicuci.

Mereka adalah pelakon-pelakon yang pernah akrab menyetubuhi tubuhku dengan cinta. Namun, masa sudah tidak lagi berpihak padaku. Kala dunia dalam kotak kaca mengalihkan pandangan manusia dariku.b

Pelakon yang dulu mencintaiku dengan sepenuh jiwa, kini berselingkuh dengan penguasa demi upah yang katanya menggeret sembilan angka nol di belakang angka utama. 

Aku merasa seperti diperkosa beramai-ramai. Nilaiku yang dahulu begitu keramat ternoda oleh matinya sebuah harga diri. Harga diri seorang seniman.

Lalu aku mendengar kasak-kusuk tidak jelas, mereka membagi-bagikan anggaran yang diajukan atas nama bangkitnya kebudayaan lokal. 

Tidak satu pun yang menyebut namaku, seakan aku bukan bagian dari pementasan yang akan mereka selenggarakan.

Aku benar-benar tidak mengerti. Mereka tidak buta, dan mereka tidak punya alasan untuk tidak melihat lampu sorot yang sudah berkarat dan keropos. 

Mereka juga tidak melihat kain hitam penutup saat pelakon berganti adegan, terakhir kali diganti dua puluh tahun yang lalu. Sudah lapuk dan penuh jahitan dengan benang yang berbeda warna.

Belum lagi kabel pengeras suara sudah banyak yang putus, sementara mereka memamerkan sejumlah dana pembeli baju dan sekotak nasi.

Seorang di antara mereka berteriak atas nama kesempurnaan dalam berkarya. Seorang lainnya menimpali teriakan itu dengan tinju di bawah mata. 

Bersitegang saling memaki dan melempar kursi. Bukan hanya satu yang berkelahi, sekelompok manusia berseni  itu membelah jadi dua kutub yang saling menolak.

"Cih!"

Aku mencibir mereka. Menghina busuknya akal yang tertutup oleh keinginan terkenal semata. 

Melupakan kepantasan yang seharusnya dipegang teguh oleh mereka yang mengaku lahir dengan darah yang berirama.

Semua sudah pergi malam ini, meninggalkan bekas-bekas kehadiran mereka dan aku tidak berharap mereka kembali untuk membersihkan tubuhku. Biar saja menjatah jatah tikus got yang menyeret sampah mereka.

Aku hanya ingin tertawa melihat punggung mereka bengkok menahan beban dari sebuah pementasan yang dipastkan gagal karena berbeda pandangan.

"Emang  enak gagal orgasme dalam onani seni yang terlalu dini!" Mataku bersinar melihat mereka pergi dengan segala luka dan harga diri yang patah.

Ini aku, panggung seni yang dulu pernah megah. Tempat para pelakon lampiaskan konak dan kemarahan dengan menjunjung citra diri.

Akulah Si Panggung megah yang ditinggalkan. Dingin dan kesepian.

#poeds 310719

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun