Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Srikandhi Mencari Cinta [Part 4]

18 Mei 2019   16:07 Diperbarui: 18 Mei 2019   16:12 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://gizmodo.com 

Abeb menggerutu panjang pendek, mulutnya komat-kamit sepanjang jalan menuju Reksoniten. Sesampai di rumah Pak Nanang pengrajin blangkon, segera pemuda itu memasukkan blangkon-blangkon ke dalam bagasi, sementara Yani menyelesaikan pembayaran.

"Habis ini kita ke Gentan dulu ya, Beb! ambil batik di rumah Mas Moordowo lalu mampir Laweyan ke rumah Mas Jayeng ngecek beskab dan dodot yang akan dipakai nanti, selanjutnya mampir sebentar ke selat Mbak Lies di Tipes, katanya Bapak ada tamu penting hari ini "

''Lah...!  muterin Solo ini ceritanya?"

"Iya, Beb...,  Bapak tadi mendadak bilang ada tamu penting, minta kita siapkan semuanya. Ba'da Ashar tamunya datang, ayo cepetan ini sudah jam setengah dua lho!"

Abeb mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, beruntung hari ini bukan hari libur, sehingga lalu lintas tidak terlalu padat. Kedua kakak beradik itu banyak berbincang tentang berbagai hal sepanjang jalan, hingga sampai di rumah kembali tepat jam empat sore.

Saat akan memasukkan mobil ke halaman, di dalam sudah terparkir sebuah mobil kecil berwarna hitam. Abeb memutuskan memarkir mobil di pinggir jalan Tamtaman, dan berharap tidak ada kereta kuda hias yang nyrempet seperti beberapa waktu berselang.

Di taman, Sekar putri Yani tampak bermain pasar-pasaran dengan anak lelaki seusianya. Anak itu mirip sekali dengan Abeb waktu seusia itu, rambutnya yang ikal, matanya yang besar dan hidung mancung berbeda dengan kelima kakaknya. Yani dan Abeb saling berpandangan, tanpa suara mereka saling mempertanyakan siapa anak itu? Secara bersamaan mereka menggedikkan bahu masing-masing, kemudian masuk ke dalam rumah.

Di ruang dalam, Pak Rekso duduk di kursi yang melingkari meja makan. Asbak di sebelah kanan penuh dengan puntung rokok, sesuatu yang sudah dihindari Pak Rekso sejak Yani menikah.

"Bapak merokok lagi?" tegur Yani lembut.

"Oh, kalian sudah datang? sini duduk bareng Bapak! ada hal penting yang Bapak akan bicarakan pada kalian berdua!" perintah Pak Rekso pada kedua anaknya.

Yani dan Abeb duduk bersebelahan di hadapan Pak Rekso. Bungkusan selat yang dibeli.dari warung Mbak Lies diletakkan di atas meja.

"Ada apa, Pak?" Abeb bertanya setelah beberapa saat hening.

"Sebelumnya Bapak minta maaf pada kalian, karena memendam rahasia selama bertahun-tahun. Kalian lihat anak kecil di depan yang bermain dengan Sekar? dia anak Nunuk!"

"Apa??? anak Nunuk?" pekik Yani, refleks dia menoleh pada Abeb adiknya, "jelaskan! dia anak kamu?"

"Lho kok aku? mimpi apa aku tiba-tiba ketiban pulung?" seru Abeb.

"Anak itu mirip sekali dengan kamu! dan selama Nunuk pergi, hanya dengan kamu dia mau ketemu! Itupun kalian bertemu secara sembunyi-sembunyi, kalau bukan anak kamu anak siapa, Beb? ngaku saja kamu!" pekik Yani histeris.

"Iya aku yang dihubungi mbak Nunuk selama dia pergi, tapi dua tahun pertama dia hanya menelponku, setelah itu kami bertemu jika Mbak Nunuk menemuiku di kampus. Tapi bukan berarti anak itu anakku!"

"Lalu apa alasan kamu tidak pernah serius pada perempuan lain? itu karena cintamu sudah habis untuk Nunuk kan?" cecar Yani.

"Enak saja! aku mencintai Mbak Nunuk itu dulu, tapi dia sudah menolakku. Dan sebagai lelaki aku merasa ganteng jadi nggak perlu terpuruk gara-gara patah hati." sergah Abeb.

BRAAKK!!!

Meja makan bergetar digebrak lelaki tua berusia enampuluhan yang masih gagah itu.

"Nunuk!" seru Pak Rekso memanggil perempuan yang sedari tadi jadi bahan perdebatan.

Dari balik pintu kamar yang sedari tadi terbuka setengahnya, Nunuk muncul. Penampilannya sangat jauh berbeda dengan saat dia pergi. Sekarang Nunuk tampak sangat feminin, rok batik selutut dipadu blus cantik dari bahan sifon menambah kecantikannya. Nunuk mendekat, dia duduk di sebelah Pak Rekso.

"Sudah kalian berdebatnya?" tanya Pak Rekso, kedua anaknya berpandangan dengan bingung.," ini Nunuk sahabatmu, Yan! dan dia istriku sejak enam tahun lalu!"

Suara lirih Pak Rekso bak halilintar di telinga kedua anaknya. Rasa tidak percaya memenuhi batin dan pikiran mereka berdua.

"Apa artinya ini, Pak?" tanya Yani dengan mata berkaca-kaca," Bapak dan Nunuk mengkhianati Ibuku!"

"Siapa mengkhianati siapa, Nduk? Ibumu sendiri yang mengantar Bapak untuk melamar Nunuk, itu dilakukan saat dia tahu kanker rahimnya sudah stadium tiga. Ibumu sendiri yang mengajari Nunuk cara merawat Surya adikmu. Tidak ada yang mengkhianati siapapun, Ibumu yang memilih Nunuk untuk merawat Bapak. Jadi Bapak sangat tidak adil bagi Nunuk kalau dia disembunyikan terus menerus!"

Nunuk mengangkat kepalanya, airmatanya menetes. Dia bangkit berdiri dan mendekati Yani sahabatnya. Nunuk mengambil tangan sahabatnya yang lunglai di sisi badannya dan menggenggamnya dengan hangat.

"Aku berhutang penjelasan padamu, Yan. Aku yang salah! sedari masih remaja aku sudah jatuh cinta pada Pakdhe. Rasa itu bukannya mati karena Pakdhe menjodohkan aku dengan Mas Ken, justru semakin besar, hingga aku nekad bilang pada Budhe kalau aku ingin jadi istri ke empatnya Pakdhe. Waktu itu Pakdhe marah sekali padaku, dia mengusirku dari padhepokan dan melarang aku menginjakkan kaki di sini. Itu yang membuat aku pergi, Yan..Aku menyepi di Wonogiri, bekerja sebagai gurubl tari di beberapa sekolah, sampai Budhe menemukan dan melamarku sebagai istri ke empat Pakdhe."

Abeb menatap Nunuk dengan mata kosong, Yani menggumam tak jelas.

"Aku siap kau maki, Yan ..., kau juga boleh memakiku Abeb. Tapi ini adalah karma dari roh Srikandhi yang selalu kuperankan, aku mencari dan mengejar cintaku dengan jalan seperti ini. Yang kuharapkan hanya kalian menerima Surya sebagai bagian dari padhepokan ini, itu saja." kata Nunuk lirih.

Suasana pendhapa semakin hening, hanya terdengar suara celoteh Sekar dan Surya di halaman.

TAMAT

#poeds 01-.10418

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun