"Ada apa, Pak?" Abeb bertanya setelah beberapa saat hening.
"Sebelumnya Bapak minta maaf pada kalian, karena memendam rahasia selama bertahun-tahun. Kalian lihat anak kecil di depan yang bermain dengan Sekar? dia anak Nunuk!"
"Apa??? anak Nunuk?" pekik Yani, refleks dia menoleh pada Abeb adiknya, "jelaskan! dia anak kamu?"
"Lho kok aku? mimpi apa aku tiba-tiba ketiban pulung?" seru Abeb.
"Anak itu mirip sekali dengan kamu! dan selama Nunuk pergi, hanya dengan kamu dia mau ketemu! Itupun kalian bertemu secara sembunyi-sembunyi, kalau bukan anak kamu anak siapa, Beb? ngaku saja kamu!" pekik Yani histeris.
"Iya aku yang dihubungi mbak Nunuk selama dia pergi, tapi dua tahun pertama dia hanya menelponku, setelah itu kami bertemu jika Mbak Nunuk menemuiku di kampus. Tapi bukan berarti anak itu anakku!"
"Lalu apa alasan kamu tidak pernah serius pada perempuan lain? itu karena cintamu sudah habis untuk Nunuk kan?" cecar Yani.
"Enak saja! aku mencintai Mbak Nunuk itu dulu, tapi dia sudah menolakku. Dan sebagai lelaki aku merasa ganteng jadi nggak perlu terpuruk gara-gara patah hati." sergah Abeb.
BRAAKK!!!
Meja makan bergetar digebrak lelaki tua berusia enampuluhan yang masih gagah itu.
"Nunuk!" seru Pak Rekso memanggil perempuan yang sedari tadi jadi bahan perdebatan.