Malam semakin larut tapi Anin masih menunggu telepon dari Seto, meski dia tahu mungkin penantiannya sia-sia. Perempuan itu menatap laptop di hadapannya, dia mengisi waktu menunggu dengan mengetik artikel parenting yang sedianya akan dikirim untuk mengisi kolom keluarga Surat Kabar edisi Minggu pertama nanti. Beberapa kali Anin menguap tapi telepon seluler di sampingnya tidak juga berbunyi, akhirnya dia menyerah. Setelah menyimpan file artikel yang baru saja diketik, dia menyimpan laptopnya dan mematikan lampu kemudian tidur.
***
Sayang, tulis Seto pada percakapan WhatsApp pagi harinya. Anin membalas dengan mengucapkan selamat pagi kemudian berpamitan mandi karena sebentar lagi dia akan meeting dengan rekanan EO, tempatnya bekerja.
 Anin dan Seto bertemu sekitar lima bulan lalu, tak lama setelah itu keakraban terjalin dan mereka memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman. Hubungan mereka tidak selalu mulus, sesekali diwarnai perdebatan panjang mengenai suatu hal. Keduanya sama-sama pencemburu dan mengungkapkan dengan gayanya masing-masing. Apalagi mereka berdua tidak tinggal dalam satu kota, hingga kadang salah paham memicu konflik. Tapi keduanya memilih saling memaafkan demi menjaga hubungan mereka.
***
Setelah makan siang Seto menelpon Anin sambil melakukan aktivitasnya sebagai pemilik toko souvenir sekaligus pabrik pembuatan craft di Badung, Bali.
Sementara Aninpun juga melakukan kegiatannya seperti biasa.
"Maaf, Ya! semalam aku tidak bisa menelponmu lagi!" ucap Seto pada kekasihnya.
Anin meletakkan pulpen yang dipegangnya kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi yang didudukinya.
Perempuan itu menarik panjang nafasnya dan bertanya,"Kenapa? aku menunggumu sampai tertidur."
" Indah menelponku dan memaksaku untuk tidak mematikan telepon sampai mati sendiri. Sepertinya dia merasakan ada kamu di hati aku."