Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Bukan Pelakor

30 Oktober 2017   10:05 Diperbarui: 30 Oktober 2017   10:18 1813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di atas meja, tertumpuk beberapa kertas, dokumen dan album foto. Bu RT dan ibu-ibu pengurus PKK melihat-lihat foto di album tersebut sambil sesekali melirik pada Najwa

"Sebenarnya bagaimana hubunganmu dengan Haris, Jeng?" tanya Ibu Seno ketua PKK.

Najwa menarik nafas perlahan, wajahnya yang penuh luka cakar dan lebam tampak sedih, tapi tidak menghilangkan kecantikannya.

"Saya bukan pelakor Bu! Saya menikah dengan mas Haris enam tahun lalu, setelah saya lulus SMA. Di desa kami, sudah biasa perempuan menikah muda, bahkan sebenarnya saat saya menikah teman sebaya saya sudah punya anak satu atau dua."

Najwa memandang semua yang hadir di ruangan itu. Ada beberapa orang yang dia tahu ikut memukul dan menganiaya dia tadi, tapi dia diam saja.

"Tapi kenapa istri Haris tadi menyebutmu yang merebut suaminya? Jika benar ucapanmu, berarti seharusnya kamu adalah istri pertama dan dialah perebut suamimu? Begitu bukan?" cecar bu RT.

"Saya tidak tahu Bu. Bahkan baru hari ini saya tahu mas Haris sudah menikah lagi dan punya dua orang putri cantik. Pantas saja dia tidak pernah komplain mengapa saya tidak kunjung hamil padahal kami sudah enam tahun menikah!" jawab Najwa sambil menyusut airmata yang lagi-lagi menetes di pipinya.

"Lho? Apa kamu nggak curiga selama ini?" tanya Bu Seno.

"Enam bulan setelah kami menikah, Ibu kandung saya meninggal. Saya anak yatim Bu, jadi ketika ibu meninggal saya yatim piatu dan ikut mertua yang kebetulan tinggal Ibu saja. Ayah mertua sudah meninggal jauh sebelum kami menikah. Ibu mertua saya sakit kanker yang banyak membutuhkan biaya, sedang jika mas Haris tetap tinggal di desa kami nggak punya penghasilan tetap. Akhirnya mas Haris memutuskan merantau ke sini, saya di rumah merawat ibu mertua." kata Najwa lirih.

 "Dua atau tiga bulan sekali mas Haris pulang, sikapnya biasa saja, tak ada yang mencurigakan. Alhamdulilah rejeki mas Haris ada saja, setiap bulannya dia selalu mengirimkan uang lebih pada kami. Selain untuk pengobatan Ibu, juga untuk makan sehari-hari. Namun Allah berkehendak lain, dua bulan lalu Ibu menyusul Ayah. Dan menurut mas Haris daripada saya di desa sendirian lebih baik ikut kemari. Demi Allah Bu, saya nggak tahu mas Haris sudah menikah lagi. Dia bilang pekerjaaannya sering ke luar kota hingga jarang pulang, saya percaya saja. Yang penting bagi saya, saya punya semua bukti kalau saya adalah istri sah dari mas Haris." Najwa menjelaskan dengan suara parau, hatinya terasa perih mengingat nasibnya.

Mereka yang ada di ruangan itu saling berpandangan, beberapa merasa menyesal telah ikut menganiaya perempuan yang tak bersalah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun