Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kabut di Perkebunan Teh (3)

27 Agustus 2017   05:51 Diperbarui: 27 Agustus 2017   12:31 1021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam telah larut, namun Yuli tak mampu memejamkan mata. Ingatannya tertuju pada setiap kata yang diucapkan Mbah Sugi tadi pagi.

"Apa yang akan terjadi malam ini?" keluhnya.

Yuli terus saja memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sampai dia ketiduran.

Jam dua pagi, Yuli terbangun, tangannya seolah digandeng seseorang yang menuntunnya keluar kamar. Sesuatu yang tak tampak, sedingin es menggenggam tangan kanannya bahkan menariknya agar melangkah lebih cepat. Aroma itu tercium lagi, semakin menusuk hidungnya hingga perutnya terasa mual. Yuli berjalan terseok-seok mengikuti sosok tak terlihat itu, melewati lorong antara ruang tengah dan berhenti di ambang pintu dapur. Matanya terbelalak melihat genangan darah berceceran di lantai dapur, di sudut kanan dekat gentong penyimpan air duduk bersimpuh seorang perempuan berambut sepinggang, memakai daster pendek bermotif bunga-bunga kecil yang robek di beberapa bagian.

Perempuan itu mengangkat kepalanya, menatap Yuli yang berdiri terpaku dengan mata membelalak.

"Tolong aku! Sempurnakan aku!" kata perempuan itu nyaris seperti berbisik.

Yuli menahan nafasnya, tubuhnya bergetar hebat, hatinya dipenuhi rasa takut bercampur penasaran. Kakinya lemas dan jatuh melorot ke lantai. Perempuan berdaster itu merangkak mendekati Yuli, meraih tangan Yuli yang lemas.

"Kamu harus menolongku! Tunjukkan dimana aku tidur atau kamu akan menjadi serupa denganku!" perempuan itu mendekatkan wajahnya yang penuh luka berdarah itu ke wajah Yuli.

Lagi-lagi Yuli menahan nafas, bau anyir itu semakin pekat diciumnya.

"Kamu siapa? Mengapa harus aku? Apa hubungan kita?" tanya Yuli terbata-bata.

Tiba-tiba lampu dapur berkedip-kedip dan akhirnya mati. Sesaat kemudian cahaya terang memenuhi rumah kecil yang ditinggali Yuli selama bertugas di Kemuning ini.

Dari ruang tamu terdengar suara orang bertengkar, Yuli berdiri dan melangkah menuju ruang tamu. Pak Samsul, guru olahraga di SD tempatnya mengajar tampak berdebat dengan seorang gadis manis berambut sepinggang dengan daster bunga-bunga. Hei! Itu gadis yang sama dengan gadis di dapur tadi.

Yuli mendekat karena ingin melerai pertengkaran mereka, tapi langkahnya terhenti saat Samsul mendorong gadis itu ke tembok. Kepala gadis itu terbentur dengan keras, sekali di tembok dan kedua kalinya membentur lantai semen. Samsul terkejut, dia mendekati gadis itu, menempelkan tangan di hidung gadis itu. Dia terlihat panik, dan segera menyeret tubuh mungil itu menuju dapur. Aneh, dia melewati Yuli tapi tidak berpaling atau menyadari kehadirannya.

Samsul melempar tubuh gadis itu dengan kasar, tubuh yang tak berdaya itu menimpa dingklik kayu hingga terbelah. Tanpa rasa kasihan, Samsul justru menyepak gadis itu. Dia tampak membuka laci-laci, mencari sesuatu, beberapa menit kemudian tangannya menarik sebuah pisau besar dari dalam salah satu laci. Dengan sadis pisau itu disabetkan ke tubuh gadis yang tak bergerak lagi. Ditusukkan beberapa kali seakan melampiaskan kemarahan yang begitu besar.

Yuli menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, dia takut kalau Samsul mendengar jeritan tertahan yang keluar dari mulutnya. Tapi bahkan saat Samsul kembali menyeret tubuh gadis itu melewatinya, lelaki tampan itu tidak menghiraukan kehadirannya. Di depan pintu Samsul berdiri, matanya melihat ke kanan kiri, takut kalau ada orang yang memergoki perbuatannya, padahal Yuli melihat semuanya itu dengan jelas.

Samsul terus saja menyeret gadis itu sampai ke lobang pembuangan sampah di depan rumah dan kembali melemparkan tubuh tak bernyawa itu dengan kasar. Segera dengan tangan kosong, Samsul menutupi jasad gadis itu dengan daun kering dan tanah kemudian mencabut tunas pisang, menancapkan di atas gundukan tanah tersebut. Yuli tak mampu lagi menahan ketakutannya saat Samsul menoleh ke arahnya, menatap pintu dengan sorot mata penuh kebencian. Perempuan itu menjerit histeris dan berlari ke arah perkampungan, sepanjang jalan dia terus saja berteriak-teriak dengan suara serak.

***

Di pos kamling, lima orang yang bertugas ronda saling berpandangan saat mendengar teriakan Yuli.

"Kenapa Bu Guru menjerit-jerit ya Dhe?" tanya Parmo pada Sono yang disebutnya pakdhe.

"Ya nggak tahu to le! Ayo kita ke sana, siapa tahu bu Guru butuh bantuan!" jawab Sono.

Berlima mereka bergegas mendatangi arah suara Yuli, di tengah jalan mereka bertemu dengan Yuli yang terjatuh di parit pembatas kebun teh.

"Ada apa Bu?" tanya Sono.

"Pak Samsul... pak Samsul... pak Sam..!" tersendat Yuli mengatakan sesuatu sebelum dia jatuh pingsan.

***

Di bale kampung berkerumun warga yang segera saja keluar rumah mencari tahu apa yang terjadi. Kabar bahwa guru desa yang histeria dengan cepat menyebar dan meskipun adzan subuh belum terdengar, warga tetap datang mencari tahu. Yuli yang dibawa ke bale kampung karena pingsan di jalan, dibaringkan di atas tikar, di tengah pendhapa. Mbah Sugi memijat kaki Yuli dengan minyak ramuan, mulutnya komat-kamit merapal doa.Tepat setelah adzan berkumandang, Yuli siuman. Bu Bayan yang dusuk di samping Yuli segera menolongnya duduk, menyodorkan air mineral gelasan dan menyuruh Yuli minum.

"Apa yang bisa kau ceritakan,Nak? Mengapa kau berteriak sepagi itu?" tanya bu Bayan lembut.

Yuli melayangkan memandang ke seluruh ruangan pendhapa bale kampung, mencari sosok Samsul. Hatinya lega saat dia tak menemukan lelaki itu di antara yang hadir. Tangisnya pecah saat menceritakan kembali apa yang dilihatnya tadi. Warga yang berkumpul terkejut dengan apa yang mereka dengar, mereka tidak percaya dengan penyataan Yuli karena Samsul adalah sosok yang dikenal sangat santun dan rajin beribadah, apalagi setahu mereka Samsul dan Yuli merupakan sepasang kekasih.

"Panggil polisi saja Bu! Kita harus buktikan apa benar yang dikatakan bu Guru. Kita tidak boleh menghakimi sebelum adanya bukti!" celetuk Parmo.

"Tapi amankan dulu pak Samsul lho Mas! Jangan sampai dia melarikan diri!" kata seorang pemuda.

"Siap! Kita bagi tugas!"

***

Polisi yang datang segera menjalankan proses pencarian di tempat-tempat yang ditunjukkan Yuli. Mereka menemukan jasad yang dimaksud yang ternyata adalah guru bantu yang diduga melarikan diri karena tidak tahan dengan keadaan desa. Samsul yang diinterogasi terus saja mengelak melakukan perbuatan tak terpuji itu. Sampai saat mbah Sugi datang ke ruangan itu, Samsul terdiam.

"Kandungannya sudah lima bulan saat mbak Suci memintaku menggugurkan kandungannya. Aku menolak dan menyuruhnya mencari bapak dari anaknya. Tapi dua hari sesudah itu, mbak Suci dikabarkan lari karena gaji guru di sini terlalu kecil!"

"Tapi bukan berarti aku yang membunuhnya, Mbah!" sergah Samsul.

"Mbak Suci selalu datang padaku, menangis dan menunjukkan luka di perutnya yang lebar. Setiap Kamis Legi malam Jumat Pahing. Tepat saat kamu membunuhnya!" jawab mbah Sugi dingin.

Tiba-tiba Yuli datang, setengah berlari dan menampar Samsul dengan keras.

" Berhenti membela diri! Aku tahu bagaimana caramu membunuh gadis itu! Dasar lelaki bejad! Pantas saja dia minta aku menolongnya atau aku akan jadi korban berikutnya!"

Samsul tertunduk, tangannya bergetar dan dia mulai mengakui perbuatannya dengan alasan marah karena terus didesak untuk menikahi Suci padahal setahunya Suci tidak hanya tidur dengannya.

***

Sore hari, langit tampak memerah. Mbah Sugi menyiapkan teh untuk Yuli yang akan menginap beberapa hari di rumahnya untuk menenangkan diri. Tadi, saat pemakaman Suci dengan layak, dia dan Yuli sama-sama melihat Suci duduk di kijing, dua puluh meter dari makam yang disediakan untuknya. Suci tampak tersenyum, cantik sekali dengan daster bermotif bunga-bunga kecil yang lusuh. Mulutnya menghumamkan terima kasih pada perempuan-perempuan yang menyempurnakan kematiannya.

#poeds

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun