Pagi masih belum terang tanah saat mbah Sugi tetangga terdekatnya menyambangi rumah dinas Yuli. Yuli yang baru selesai sholat subuh agak terkejut dengan kedatangan perempuan tua yang berdiri di depan jendela yang terbuka lebar tanpa suara.
"Ada apa Mbah? Ada yang bisa aku bantu?" tanya Yuli ramah.
Dia mendekati jendela dan tersenyum pada perempuan tua itu.
"Silakan lewat depan saja Mbah, sebentar aku bukakan pintunya!" kata Yuli lagi.
Mbah Sugi mengangguk, wajahnya datar. Dia melangkah memutari rumah kecil berdinding semen yang masih tampak baru itu.
Yuli membuka pintu depan dan mempersilahkan Mbah Sugi masuk, tapi perempuan itu hanya melongok ke dalam rumah dan menggelengkan kepalanya. Dia malah duduk di lantai teras yang belum sempat disapu Yuli.
" Lho Mbah kok duduk di bawah, ayo masuk saja ya!" ujar Yuli seraya megang tangan Mbah Sugi, mengajaknya masuk ke dalam.
Sekali lagi Mbah Sugi menggeleng, "Di sini saja, Nduk! Aku hanya mampir saja sepulang dari sungai tadi."
"Jangan pergi dulu ya Mbah, sebentar saja aku pengen ngobrol sama Mbah, kebetulan hari ini tanggal merah, libur sekolah." kata Yuli.
Yuli beranjak masuk ke rumah dan sekeluarnya dia membawa dua gelas teh hangat dan sepiring pisang rebus sisa semalam. Di depan pintu langkahnya terhenti, samar-samar dia mendengar Mbah Sugi menembangkan macapat yang berisi nasehat orang tua pada anaknya. Suaranya persis dengan yang dia dengar benerapa malam berturut-turut, hanya tembang yang dinyanyikan berbeda.
Lamun sira ameguru kaki
Amiliha manungsa sanyata
Ingkang becik martabate
Sarta weruh ing ukum
Kang ibadah lan kang wirangi
Sukur oleh wong tapa ingkang wus amungkul
Tan gumantung liyan
Iku wajib guronana kaki
Sartane kawruhanana
"Mbah... !" sapa Yuli.
Mbah Sugi menoleh, dia tersenyum memperlihatkan giginya yang ompong di tengah. Tiba-tiba bulu kuduk Yuli meremang, dia merasa ada yang aneh terjadi.
"Kamu bisa tidur nyenyak Nduk?" tanya Mbah Sugi, tangannya yang keriput mengambil pisang rebus dan memakannya perlahan.
Yuli mengernyitkan kening, dia heran mengapa perempuan yang hampir tak pernah bertegur sapa ini menanyakan hal itu. Lagi-lagi Mbah Sugi tersenyum, dia menyeruput teh yang disediakan.
"Kamu mencium bau bacin nggak, Nduk? Maksudku bau anyir seperti darah haid?" tanyanya lagi
"Bagaimana Mbah bisa tahu? Siapa sebenarnya Simbah?" Yuli balik bertanya.
Mbah Sugi tertawa terkekeh, suaranya menyeramkan mirip seperti kaokan burung gagak.
"Kamu akan tahu malam ini, sekarang Kamis Legi wuku Shinta, tepat dua tahun dia pergi. Terima kasih tehnya Nduk, yang sabar ya!" jawab Mbah Sugi, tanpa penjelasan lebih lanjut perempuan tua itu meninggalkan Yuli yang terpaku dengan wajah pias.
(bersambung)
#poeds
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H