Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kabut di Perkebunan Teh

25 Agustus 2017   19:51 Diperbarui: 26 Agustus 2017   08:18 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi masih belum terang tanah saat mbah Sugi tetangga terdekatnya menyambangi rumah dinas Yuli. Yuli yang baru selesai sholat subuh agak terkejut dengan kedatangan perempuan tua yang berdiri di depan jendela yang terbuka lebar tanpa suara.

"Ada apa Mbah? Ada yang bisa aku bantu?" tanya Yuli ramah.

Dia mendekati jendela dan tersenyum pada perempuan tua itu.

"Silakan lewat depan saja Mbah, sebentar aku bukakan pintunya!" kata Yuli lagi.

Mbah Sugi mengangguk, wajahnya datar. Dia melangkah memutari rumah kecil berdinding semen yang masih tampak baru itu.

Yuli membuka pintu depan dan mempersilahkan Mbah Sugi masuk, tapi perempuan itu hanya melongok ke dalam rumah dan menggelengkan kepalanya. Dia malah duduk di lantai teras yang belum sempat disapu Yuli.

" Lho Mbah kok duduk di bawah, ayo masuk saja ya!" ujar Yuli seraya megang tangan Mbah Sugi, mengajaknya masuk ke dalam.

Sekali lagi Mbah Sugi menggeleng, "Di sini saja, Nduk! Aku hanya mampir saja sepulang dari sungai tadi."

"Jangan pergi dulu ya Mbah, sebentar saja aku pengen ngobrol sama Mbah, kebetulan hari ini tanggal merah, libur sekolah." kata Yuli.

Yuli beranjak masuk ke rumah dan sekeluarnya dia membawa dua gelas teh hangat dan sepiring pisang rebus sisa semalam. Di depan pintu langkahnya terhenti, samar-samar dia mendengar Mbah Sugi menembangkan macapat yang berisi nasehat orang tua pada anaknya. Suaranya persis dengan yang dia dengar benerapa malam berturut-turut, hanya tembang yang dinyanyikan berbeda.

Lamun sira ameguru kaki

Amiliha manungsa sanyata

Ingkang becik martabate

Sarta weruh ing ukum

Kang ibadah lan kang wirangi

Sukur oleh wong tapa ingkang wus amungkul

Tan gumantung liyan

Iku wajib guronana kaki

Sartane kawruhanana

"Mbah... !" sapa Yuli.

Mbah Sugi menoleh, dia tersenyum memperlihatkan giginya yang ompong di tengah. Tiba-tiba bulu kuduk Yuli meremang, dia merasa ada yang aneh terjadi.

"Kamu bisa tidur nyenyak Nduk?" tanya Mbah Sugi, tangannya yang keriput mengambil pisang rebus dan memakannya perlahan.

Yuli mengernyitkan kening, dia heran mengapa perempuan yang hampir tak pernah bertegur sapa ini menanyakan hal itu. Lagi-lagi Mbah Sugi tersenyum, dia menyeruput teh yang disediakan.

"Kamu mencium bau bacin nggak, Nduk? Maksudku bau anyir seperti darah haid?" tanyanya lagi

"Bagaimana Mbah bisa tahu? Siapa sebenarnya Simbah?" Yuli balik bertanya.

Mbah Sugi tertawa terkekeh, suaranya menyeramkan mirip seperti kaokan burung gagak.

"Kamu akan tahu malam ini, sekarang Kamis Legi wuku Shinta, tepat dua tahun dia pergi. Terima kasih tehnya Nduk, yang sabar ya!" jawab Mbah Sugi, tanpa penjelasan lebih lanjut perempuan tua itu meninggalkan Yuli yang terpaku dengan wajah pias.

(bersambung)

#poeds

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun