Dia melangkah menuju jendela kecil yang setiap terang tanah terbuka ke arah perkebunan teh, tangannya menyibak gorden rajut warisan penghuni sebelumnya. Jendela dengan jeruji besi itu dia buka perlahan, di luar seperti malam-malam sebelumnya, lengang tanpa ada tanda kehidupan. Yuli menarik nafas panjang, batinnya bertanya-tanya bagaimana mungkin telinganya menangkap suara seseorang menembangkan durma sementara rumah dinasnya berada di tengah perkebunan, sedang rumah tetangga terdekat berjarak lima ratus meter dari rumahnya. Dan setahunya rumah tersebut hanya dihuni mbah Sugi, perempuan tua yang berprofesi sebagai dukun pijat.
Yuli menutup kembali jendela, angin yang menerpa wajahnya terasa lebih dingin dari biasanya. Saat Yuli menarik grendel, telinganya kembali menangkap tembang itu dari kejauhan.
"Siapa sebenarnya yang nembang itu? Suaranya begitu menyayat hati, seperti ada yang ditangisinya." kata Yuli pada dirinya sendiri.
Jam di dinding kamar bercat putih menunjukkan pukul sebelas lebih lima menit. Yuli beranjak menuju amben, menata bantal dan menenggelamkan diri di balik selimut tebal bermotif garis-garis. Dengan cepat dia tertidur, sesekali Yuli tampak membalikkan badan. Keringat mengucur dari dahinya, berbanding terbalik dengan suhu yang hanya di kisaran delapan belas derajat.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H