Malam merambat semakin tua, suasana pedesaan yang hening terasa mencekam malam ini. Yuli menutup laptopnya, pekerjaannya sebagai guru bantu di desa Kemuning memaksanya bekerja sampai malam. Beberapa anak dari pekerja perkebunan teh memang sering datang ke rumah dinasnya selepas magrib. Pada pagi sampai siang mereka kadang membantu orang tua yang bekerja sebagai pemetik teh.
Lingsir wengi sliramu tumeking sirna
Aja tangi nggonmu guling
awas ja ngetera
aku lagi bang wingo-wingo
jin setan kang tak utusi
jin setan kang tak utusi
dadya sebarang
Waja lelayu sebet
Sayup-sayup Yuli mendengar seseorang menembangkan durma, salah satu dari sebelas tembang macapat. Perempuan di akhir dua puluhan tahun itu menyandarkan punggungnya pada amben kayu jati di sudut kamar. Dia menyelonjorkan kakinya yang terasa pegal, matanya terpejam. Ingatannya mengenang ayahnya yang jauh di Jakarta, beliau suka sekali tembang-tembang macapat. Bahkan waktu Yuli masih kecil, ayah menidurkannya dengan tembang macapat yang sarat nasehat.
" Heh! Siapa yang nembang malam-malam begini?" tiba-tiba Yuli disadarkan oleh sesuatu yang ganjil.
Dia melangkah menuju jendela kecil yang setiap terang tanah terbuka ke arah perkebunan teh, tangannya menyibak gorden rajut warisan penghuni sebelumnya. Jendela dengan jeruji besi itu dia buka perlahan, di luar seperti malam-malam sebelumnya, lengang tanpa ada tanda kehidupan. Yuli menarik nafas panjang, batinnya bertanya-tanya bagaimana mungkin telinganya menangkap suara seseorang menembangkan durma sementara rumah dinasnya berada di tengah perkebunan, sedang rumah tetangga terdekat berjarak lima ratus meter dari rumahnya. Dan setahunya rumah tersebut hanya dihuni mbah Sugi, perempuan tua yang berprofesi sebagai dukun pijat.
Yuli menutup kembali jendela, angin yang menerpa wajahnya terasa lebih dingin dari biasanya. Saat Yuli menarik grendel, telinganya kembali menangkap tembang itu dari kejauhan.
"Siapa sebenarnya yang nembang itu? Suaranya begitu menyayat hati, seperti ada yang ditangisinya." kata Yuli pada dirinya sendiri.
Jam di dinding kamar bercat putih menunjukkan pukul sebelas lebih lima menit. Yuli beranjak menuju amben, menata bantal dan menenggelamkan diri di balik selimut tebal bermotif garis-garis. Dengan cepat dia tertidur, sesekali Yuli tampak membalikkan badan. Keringat mengucur dari dahinya, berbanding terbalik dengan suhu yang hanya di kisaran delapan belas derajat.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H